Film Dokumenter
By - Posted on 27 August 2009Banyak perdebatan tentang film, terutama dokumenter. Perdebatan itu masih di sekitar wilayah pemahaman dasar, padahal di negeri-negeri tempat dokumenter itu berasal seperti Perancis, Russia, Inggris dan lain sebagainya, para pembuat dan teoritikusnya bahkan hampir tidak lagi berbincang tentang masalah realitas dan fakta, namun sudah lebih dari itu.
Satu dekade belakangan fenomena pembuatan film menjadi menguat terutama dikarenakan adanya lompatan teknologi video yang harganya menjadi sangat terjangkau. Sudah tidak aneh bila tiba-tiba saja ada orang yang mengaku sutradara, padahal di masa lalu hal seperti itu sangatlah sulit diraih. Perkembangan teknologi ini juga kemudian menjadikan film tidak lagi ekslusif, sehingga memungkinkan setiap orang yang bisa mengaksesnya untuk membuat film.
Sayangnya hal tersebut tidak dibarengi dengan pemahaman yang baik tentang produksi film itu sendiri, bahkan pengadopsian istilah-istilah dari dunia perfilman di barat (Amerika Serikat) menjadi sangat arbitrer. Contohnya saja ketika salah seorang pembuat film menggunakan istilah independen, maka hampir semua orang yang berhubungan dengan film menerjemahkannya dengan seenak pikirnya. Beberapa diskusi bahkan tidak mengetahui darimana istilah independen berasal, sampai-sampai ada yang menggunakan kata indische untuk mencari kata itu. Padahal kalau benar-benar membaca sejarah film terutama di Amerika Serikat, istilah itu tidak sulit untuk ditemukan bahkan sampai ke sejarahnya.
Kembali lagi pada pemahaman dasar produksi film, banyak pembuat film hanya tahu bahwa kalau membuat film itu ambil kamera, shoot dan masuk editing. Dalam dunia dokumenter sendiri bila mau shooting yang mereka lakukan adalah mendatangi narasumber dan wawancara. Setelah itu mereka tinggal mengambil gambar sekedarnya untuk disesuaikan dengan isi wawancaranya. Sekarang ini bisa dilihat, banyak dari para pembuat dokumenter itu tidak lagi memahami tentang;
Bagaimana cara bercerita yang baik?
Bagaimana merencanakan film dokumenter?
Apa mise en scene yang harus direkam?
Apakah suara penting dalam dokumenter?
Namun sebelum lebih jauh masuk ke permasalahan tersebut, maka ada baiknya kita melihat dulu apa definisi dokumenter, sehingga dapat dengan memudahkan atau membantu bagi yang ingin memulainya.
Definisi Film Dokumenter
By - Posted on 27 August 2009Sesungguhnya kata ini muncul dari tulisan John Grierson ketika menanggapi film-film karya Robert Flaherty, terutama sekali Nanook of the North. Film yang berdurasi kurang lebih 1,5 jam itu tidak lagi ‘mendongeng’ ala Hollywood. Grierson kemudian menyampaikan pandangannya bahwa apa yang dilakukan oleh Flaherty tersebut merupakan sebuah perlakuan kreatif terhadap kejadian-kejadian actual yang ada (the creative treatment of actuality).
Walaupun definisi ini bertahan cukup lama, kemudian bermunculanlah orang-orang yang mencoba mendefinisikan dengan caranya masing-masing (arbitrer) seperti yang coba dikumpulkan berikut ini :
1. Paul Rotha :
Definisi Dokumenter bukan merujuk pada subyek atau sebuah gaya, namun dokumenter adalah sebuah pendekatan. Pendekatan dalam dokumenter dalam film berbeda dari film cerita. Bukan karena tidak dipedulikannya aspek kriya / kerajianan (craftsmanship) dalam pembuatannya, tetapi dengan sengaja justru memperlihatkan bagaimana kriya tersebut digunakan.
2. Paul Wells :
Teks Non-Fiksi yang menggunakan footage–footage yang aktual, di mana termasuk di dalamnya perekaman langsung dari peristiwa yang akan disajikan dan materi-materi riset yang berhubungan dengan peristiwa itu, misalnya hasil wawancara, statistik, dlsb. Teks-teks seperti ini biasanya disuguhkan dari sudut pandang tertentu dan memusatkan perhatiannya pada sebuah isu-isu sosial tertentu yang sangat memungkinkan untuk dapat menarik perhatian penontonnya.
4. Steve Blandford, Barry Keith Grant dan Jim Hillier :
Pembuatan film yang subyeknya adalah masyarakat, peristiwa atau suatu situasi yang benar-benar terjadi di dunia realita dan di luar dunia sinema.
(The Film Studies Dictionary, halaman 73).
5. Frank Beaver :
Sebuah film non-fiksi. Film Dokumenter biasanya di-shoot di sebuah lokasi nyata, tidak menggunakan actor dan temanya terfokus pada subyek–subyek seperti sejarah, ilmu pengetahuan, social atau lingkungan. Tujuan dasarnya adalah untuk memberi pencerahan, member informasi, pendidikan, melakukan persuasi dan memberikan wawasan tentang dunia yang kita tinggali.
(Dictionary of Film Terms, halaman 119)
6. Louis Giannetti :
Tidak seperti kebanyakan film-film fiksi, dokumenter berurusan dengan fakta-fakta, seperti manusia, tempat dan peristiwa serta tidak dibuat . Para pembuat film dokumenter percaya mereka ‘menciptakan’ dunia di dalam filmnya seperti apa adanya.
(Understanding Movies , Edisi Ke-7, halaman 339)
7. Timothy Corrigan :
Sebuah film non-fiksi tentang masyarakat dan peristiwanya, seringkali mengabaikan struktur naratif yang tradisional.
(A Short Guide to Writing About Film, Edisi Ke-4, halaman 206).
8. Michael Rabinger :
Dokumenter harusnya dibuat dengan hati dan bukan hanya dengan pikiran kita saja. Film dokumenter ada untuk mengubah cara kita merasakan sesuatu.
9. Ralph S. Singleton and James A. Conrad :
Film dari sebuah peristiwa yang aktual. Peristiwa-peristiwa tersebut didokumentasikan dengan menggunakan orang-orang biasa dan bukan actor.
(Filmmaker’s Dictionary, Edisi Ke-2, halaman 94)
10. Edmund F. Penney :
Suatu jenis film yang melakukan interpretasi terhadap subyek dan latar belakang yang nyata. Terkadang istilah ini digunakan secara luas untuk memperlihatkan aspek realistiknya dibandingkan pada film-film cerita konvensional. Namun istilah ini juga telah menjadi sempit karena seringkali hanya menyajikan rangkaian gambar dengan narasi dan soundtrack dari kehidupan nyata.
(Facts on File Film and Broadcast Terms, halaman 73).
11. James Monaco :
Istilah dengan makna yang sangat luas, secara mendasar digunakan untuk merujuk pada film atau program televisi yang tidak seluruhnya fiktif saat menyajikan alam.
(The Dictionary of New Media, halaman 94)
12. Ira Konigsberg :
Sebuah film yang berkaitan langsung dengan suatu fakta dan non-fiksi yang berusaha untuk menyampaikan kenyataan dan bukan sebuah kenyataan yang direkayasa. Film-film seperti ini peduli terhadap perilaku masyarakat, suatu tempat atau suatu aktivitas.
(The Complete Film Dictionary, Edisi Ke-2, halaman 103).
13. Gerald Mast dan Bruce F. Kawin
Sebuah film non-fiksi yang menata unsur-unsur faktual dan menyajikannya, dengan tujuan tertentu.
(A Short History of the Movies, Edisi Ke-7, halaman 64).
14. David Bordwell dan Kristin Thompson
Justru yang menarik adalah apa yang dikatakan oleh David Bordwell dan Kristin Thompson dalam Film Art: An Introduction, Edisi Ke-5. Menurutnya bahwa inti dari film dokumenter adalah untuk menyajikan informasi yang faktual tentang dunia di luar film itu sendiri. Bedanya dengan fiksi adalah dalam pembuatannya tidak ada rekayasa baik dari tokohnya (manusia), ruang (tempat), waktu dan juga peristiwanya.
15. Misbach Yusabiran
Misbach Yusabiran melalui Penulis Skenario, Armantono pernah mengatakan bahwa dokumenter adalah suatu dokumentasi yang diolah secara kreatif dan bertujuan untuk mempengaruhi (mem-persuasi) penontonnya. Dengan definisi ini, film dokumenter seringkali menjadi sangat dekat dengan film-film yang bernuansa propaganda.
Perihal Dokumenter
By - Posted on 24 September 2010A. MENYAMPAIKAN KEBENARAN
Sampai hari ini, masih banyak yang percaya bahwa film dokumenter berfungsi untuk menyampaikan dan menampilkan kebenaran dalam kehidupan manusia, sehingga pembuat film dokumenter dengan sekuat tenaga akan menggunakan seluruh sumber daya dan sarana yang ada untuk mewujudkannya. Tentu saja apa yang disajikan oleh para pembuat film dokumenter adalah footage dari masa kini ataupun masa lalu untuk mengeksplorasi subjek tertentu, termasuk peristiwa sejarah dan peristiwa kekinian, juga fenomena alam, profil pesohor, seni–budaya serta segala macam tema yang bisa dibayangkan.
B. GAYA DAN SUDUT PANDANG (POINT OF VIEW)
Film dokumenter secara signifikan akan selalu dibuat bervariasi terutama dalam aspek gaya dan sudut pandangnya. Film dokumenter yang dibuat secara konvensional, seperti In Search of Mozart, selalu menggunakan footage (gambar bergerak) dan foto (gambar diam) untuk mengantarkan penonton masuk ke dalam subjeknya, yang dalam kasus ini adalah kehidupan dan dunia musik Wolfgang Amadeus Mozart ketika muda.
Pada spektrum gaya yang lain, film dokumenter juga dibuat dengan pendekatan eksperimental, contohnya dalam film Mayhem (1987) karya Abigail Child, di mana ekspresi pribadi sangatlah kuat dengan menggunakan jukstaposisi gambar yang tak terduga.
Para pembuat film dokumenter panjang seperti Michael Moore dalam film Sicko (2007) juga mengugunakan teknik jukstaposisi gambar dalam mengkonstruksi ceritanya, sedangkan Michael Winterbottom dan Mat Whitecross dalam film Road To Guantanamo (2006) justru menggunakan pendekatan fiksi (semi dokumenter) untuk menceritakan apa terjadi di sana ketika footage aslinya tidak tersedia.
C. PROPAGANDA YANG KUAT
Film dokumenter yang kuat dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan politik suatu masyarakat. Dengan sangat halus, sutradara biasanya memiliki sudut pandang yang akhirnya menyatu dengan nilai propaganda terhadap permasalahan yang disampaikannya. Oleh karena itu penonton harus peka terhadap kemungkinan adanya bias itu.
Contoh itu ada dalam dokumenter klasik, Triumph of the Will (1935) karya Leni Reifenstahl yang saat itu menjadi ‘tangan kanan’ Adolf Hitler dalam urusan media film. Di sisi lain, Amy Berg nominasi piala Oscar dalam Deliver Us From Evil (2006), yang membeberkan pelecehan anak oleh rohaniwan Katolik di Los Angeles yang menyebabkan Keuskupan Agung Los Angeles menawarkan $ 660 juta kepada korban pelecehan untuk penyelesaian kasus tersebut baru-baru ini.
D. KONFLIK KEPENTINGAN (CONFLICT OF INTEREST)
Saat menonton film dokumenter dengan kemungkinan biasnya sudut pandang sutradara, maka salah satu kesadaran yang perlu diangkat adalah sumber pendanaan pembuatan film tersebut. Misalnya ketika perusahaan rokok membiayai film yang menunjukkan rokok sebagai gaya hidup ataupun ketika The Dixie Chicks merekrut Barbara Kopple menyutradari Shut Up & Sing (2006) yang menceritakan kembalinya mereka ke tengah panggung, di mana mereka mengkritisi Perang Irak yang dilancarkan George Walker Bush. Dikarenakan film ini menceritakan mereka yang masuk ke industri musik kembali, maka membuat informasi dan pesan film tentang Perang Irak seperti kurang dipercaya.
E. ETIKA DAN AKUNTABILITAS
Konflik kepentingan dan adanya kredibilitas yang dipertanyakan bukan satu-satunya standar yang dipertimbangkan dalam film dokumenter. Unsur lain yang dipertimbangkan oleh pembuat film adalah digunakannya subjek hidup dan merekamnya dengan akurasi tinggi. Dalam Tootie’s Last Suit (2006), Lisa Katzman mengikuti Mardi Gras ‘India’ untuk menentukan kostum siapa yang paling ‘bagus’. Film ini mengungkap persaingan antara Tootie dan putranya di mana kedua subjek tersebut merasa merana saat menonton, tapi sang sutradara tidak bisa disalahkan karena mengkhianati kepercayaan mereka.
F. EVOLUSI PEMBUATAN FILM DOKUMENTER
Pembuatan film dokumenter telah berkembang selama puluhan tahun. Film awal seperti Nanook of the North (1930) karya Robert Flaherty saat itu memerlukan peralatan canggih untuk membuat gambar menarik tetapi tidak sempurna. Teknologi digital saat ini memungkinkan para pembuat film – professional dan amatir – menggunakan cara gerilya (seperti hanya perekaman yang dapat mengungkapkan kebenaran tentang berbagai hal namun mereka sedang difilmkan tidak menyadarinya).
G. SEKARANG SUDAH LEBIH POPULER
Film dokumenter menjadi semakin populer di masyarakat karena teknologinya membuat mereka bisa menjangkau untuk masuk profesi tersebut. Penonton juga cenderung lebih percaya dan tertarik terhadap sumber informasi para pembuat film pemula tersebut, dibandingkan dengan film yang diproduksi oleh lembaga mainstream di mana informasinya sering dipotong–potong untuk kepentingan berita mereka daripada untuk kepentingan substansi ceritanya.
NB : Tulisan ini merupakan terjemahan bebas dari sebuah situs di internet yang saya sudah lupa, mohon maaf bagi yang situsnya diterjemahkan. Ini hanya untuk berbagi.
sumber: http://saungsinema.wordpress.com
Membedakan Film Dokumenter
By - Posted on 24 September 2010Bagaimana membedakan film dokumenter dengan film atau tayangan audio-visual yang lain di mana tayangan tersebut dianggap mirip atau bahkan dianggap sama. Misalnya beda dokumenter dengan film dokumentasi dan jurnalistik televisi.
Banyak orang ketika mengucapkan sebuah pernyataan,”film kamu ini dokumentasi, bukan dokumenter!” Lalu ketika ditanya perbedaannya, mereka ‘clegukan’ tidak bisa menjelaskan.
1. Persamaan
Persamaan antara dokumenter, dokumentasi dan jurnalistik televisi adalah objeknya. Artinya bahwa apa yang menjadi pembahasan, perekaman dan pengamatannya adalah segala macam hal yang bersifat faktual dan juga aktual.
2. Perbedaan
a. Film Dokumentasi adalah sebuah perekaman gambar dan suara yang hanya merekam kejadian faktual dan aktual tanpa ada pretensi apapun terutama penceritaan. Intinya hanya sekedar merekam belaka tanpa ada ‘embel-embel’ tertentu. Bahkan terkadang dokumentasi tidak melalui proses editing, yang ada hanya melalui proses cutting (potong-sambung) yang tujuannya untuk memperpendek durasi. Dengan kata lain, dokumentasi tidak memiliki ideologi yang ingin disebarkan kepada penontonnya.
b. Junalistik Televisi adalah sebuah tayangan yang menggunakan perekaman gambar dan suara yang faktual, namun biasanya tayangan tersebut sudah melalui unsur editing untuk disesuaikan dengan naskah pemberitaan. Jadi dalam jurnalistik televisi sudah ada ideologi dan tujuannya, artinya biasanya saat merekam sudah terjadi pemilihan / seleksi gambar dan suara, tentu saja yang sesuai dengan ideologi dan tujuan tayangan tersebut.
c. Film Dokumenter adalah sebuah film yang menggunakan perekaman gambar dan suara yang faktual dan aktual. Film tipe ini juga memiliki tujuan dan ideologi, sehingga seringkali dikaitkan dengan jurnalistik. Namun apa yang membedakan antara dokumenter dengan tipe audio-visual lainnya adalah story-telling (penceritaan) di mana jurnalistik dan dokumentasi tidak memilikinya.
Dengan demikian, misalkan ada sebuah pernikahan seorang kawan, yang awalnya di benak kita langsung menganggapnya akan menjadi dokumentasi, maka hal itu bisa saja menjadi film dokumenter ataupun laporan jurnalistik televisi tergantung apakah hanya berhenti pada pelaporan jurnlistik dengan tujuan tertentu atau ada penceritaannya yang mendalam sehingga menjadi sebuah film dokumenter.
Sejarah Film Dokumenter
By - Posted on 24 March 2010Film dokumenter tidak seperti halnya film fiksi (cerita) merupakan sebuah rekaman peristiwa yang diambil dari kejadian yang nyata atau sungguh-sungguh terjadi. Definisi “dokumenter” sendiri selalu berubah sejalan dengan perkembangan film dokumenter dari masa ke masa. Sejak era film bisu, film dokumenter berkembang dari bentuk yang sederhana menjadi semakin kompleks dengan jenis dan fungsi yang semakin bervariasi. Inovasi teknologi kamera dan suara memiliki peran penting bagi perkembangan film dokumenter. Sejak awalnya film dokumenter hanya mengacu pada produksi yang menggunakan format film (seluloid) namun selanjutnya berkembang hingga kini menggunakan format video (digital). Berikut adalah ulasan singkat mengenai perkembangan sejarah film dokumenter dari masa ke masa.
Film Dokumenter: Era Film Bisu
By - Posted on 24 March 2010Sejak awal ditemukannya sinema, para pembuat film di Amerika dan Perancis telah mencoba mendokumentasikan apa saja yang ada di sekeliling mereka dengan alat hasil temuan mereka. Seperti Lumiere Bersaudara, mereka merekam peristiwa sehari-hari yang terjadi di sekitar mereka, seperti para buruh yang meninggalkan pabrik, kereta api yang masuk stasiun, buruh bangunan yang bekerja, dan lain sebagainya. Bentuknya masih sangat sederhana (hanya satu shot) dan durasinya pun hanya beberapa detik saja. Film-film ini lebih sering diistilahkan “actuality films”. Beberapa dekade kemudian sejalan dengan penyempurnaan teknologi kamera berkembang menjadi film dokumentasi perjalanan atau ekspedisi, seperti South (1919) yang mengisahkan kegagalan sebuah ekspedisi ke Antartika.
Tonggak awal munculnya film dokumenter secara resmi yang banyak diakui oleh sejarawan adalah film Nanook of the North (1922) karya Robert Flaherty. Filmnya menggambarkan kehidupan seorang Eskimo bernama Nanook di wilayah Kutub Utara. Flaherty menghabiskan waktu hingga enam belas bulan lamanya untuk merekam aktifitas keseharian Nanook beserta istri dan putranya, seperti berburu, makan, tidur, dan sebagainya. Sukses komersil Nanook membawa Flaherty melakukan ekspedisi ke wilayah Samoa untuk memproduksi film dokumenter sejenis berjudul Moana (1926). Walau tidak sesukses Nanook namun melalui film inilah pertama kalinya dikenal istilah “documentary”, melalui ulasan John Grierson di surat kabar New York Sun. Oleh karena peran pentingnya bagi awal perkembangan film dokumenter, para sejarawan sering kali menobatkan Flaherty sebagai “Bapak Film Dokumenter”.
Sukses Nanook juga menginspirasi sineas-produser Merian C. Cooper dan Ernest B. Schoedsack untuk memproduksi film dokumenter penting, Grass: A Nation's Battle for Life (1925) yang menggambarkan sekelompok suku lokal yang tengah bermigrasi di wilayah Persia. Kemudian berlanjut dengan Chang: A Drama of the Wilderness (1927) sebuah film dokumenter perjalanan yang mengambil lokasi di pedalaman hutan Siam (Thailand). Eksotisme film-film tersebut kelak sangat mempengaruhi produksi film (fiksi) fenomenal produksi Cooper, yaitu King Kong (1933). Di Eropa, beberapa sineas dokumenter berpengaruh juga bermunculan. Di Uni Soviet, Dziga Vertov memunculkan teori “kino eye”. Ia berpendapat bahwa kamera dengan semua tekniknya memiliki nilai lebih dibandingkan mata manusia. Ia mempraktekkan teorinya melalui serangkaian seri cuplikan berita pendek, Kino Pravda (1922), serta The Man with Movie Camera (1929) yang menggambarkan kehidupan keseharian kota-kota besar di Soviet. Sineas-sineas Eropa lainnya yang berpengaruh adalah Walter Ruttman dengan filmnya, Berlin - Symphony of a Big City (1927) lalu Alberto Cavalcanti dengan filmnya Rien Que les Heures.
Film Dokumenter: Era Menjelang dan Masa Perang Dunia
By - Posted on 24 March 2010Film dokumenter berkembang semakin kompleks di era 30-an. Munculnya teknologi suara juga semakin memantapkan bentuk film dokumenter dengan teknik narasi dan iringan ilustrasi musik. Pemerintah, institusi, serta perusahaan besar mulai mendukung produksi film-film dokumenter untuk kepentingan yang beragam. Salah satu film yang paling berpengaruh adalah Triump of the Will (1934) karya sineas wanita Leni Riefenstahl, yang digunakan sebagai alat propaganda Nazi. Untuk kepentingan yang sama, Riefenstahl juga memproduksi film dokumenter penting lainnya, yakni Olympia (1936) yang berisi dokumentasi even Olimpiade di Berlin. Melalui teknik editing dan kamera yang brilyan, atlit-atlit Jerman sebagai simbol bangsa Aria diperlihatkan lebih superior ketimbang atlit-atlit negara lain.
Di Amerika, era depresi besar memicu pemerintah mendukung para sineas dokumenter untuk memberikan informasi seputar latar-belakang penyebab depresi. Salah satu sineas yang menonjol adalah Pare Lorentz. Ia mengawali dengan The Plow that Broke the Plains (1936), dan sukses film ini membuat Lorentz kembali dipercaya memproduksi film dokumenter berpengaruh lainnya, The River (1937). Kesuksesan film-film tersebut membuat pemerintah Amerika serta berbagai institusi makin serius mendukung proyek film-film dokumenter. Dukungan ini kelak semakin intensif pada dekade mendatang setelah perang dunia berkecamuk.
Perang Dunia Kedua mengubah status film dokumenter ke tingkat yang lebih tinggi. Pemerintah Amerika bahkan meminta bantuan industri film Hollywood untuk memproduksi film-film (propaganda) yang mendukung perang. Film-film dokumenter menjadi semakin populer di masyarakat. Sebelum televisi muncul, publik dapat menyaksikan kejadian dan peristiwa di medan perang melalui film dokumenter serta cuplikan berita pendek yang diputar secara reguler di teater-teater. Beberapa sineas papan atas Hollywood, seperti Frank Capra, John Ford, William Wyler, dan John Huston diminta oleh pihak militer untuk memproduksi film-film dokumenter Perang. Capra misalnya, memproduksi tujuh seri film dokumenter panjang bertajuk, Why We Fight (1942-1945) yang dianggap sebagai seri film dokumenter propaganda terbaik yang pernah ada. Capra bahkan bekerja sama dengan studio Disney untuk membuat beberapa sekuen animasinya. Sementara John Ford melalui The Battle of Midway (1942) dan William Wyler melalui Memphis Belle (1944) keduanya juga sukses meraih piala Oscar untuk film dokumenter terbaik.
Film Dokumenter: Era Pasca Perang Dunia
By - Posted on 24 March 2010Pada era setelah pasca Perang Dunia Kedua, perkembangan film dokumenter mengalami perubahan yang cukup signifikan. Film dokumenter makin jarang diputar di teater-teater dan pihak studio pun mulai menghentikan produksinya. Semakin populernya televisi menjadikan pasar baru bagi film dokumenter. Para sineas dokumenter senior, seperti Flaherty, Vertov, serta Grierson sudah tidak lagi produktif seperti pada masanya dulu. Sineas-sineas baru mulai bermunculan dan didukung oleh kondisi dunia yang kini aman dan damai makin memudahkan film-film mereka dikenal dunia internasional. Satu tendensi yang terlihat adalah film-film dokumenter makin personal dan dengan teknologi kamera yang semakin canggih membantu mereka melakukan berbagai inovasi teknik. Tema dokumenter pun makin meluas dan lebih khusus, seperti observasi sosial, ekspedisi dan eksplorasi, liputan even penting, etnografi, seni dan budaya, dan lain sebagainya.
Sineas Swedia, Arne Sucksdorff menggunakan lensa telefoto dan kamera tersembunyi untuk merekam kehidupan satwa liar dalam The Great Adventure (1954); Oceanografer Jeacques Cousteau memproduksi beberapa seri film dokumenter kehidupan bawah laut, seperti The Silent World (1954); Observasi kota tampak melalui karya Frank Stauffacher, Sausalito (1948) serta Francis Thompson, N.Y., N.Y. (1957). Mengikuti gaya eksotis Flaherty, John Marshall memproduksi The Hunters (1956) mengambil lokasi di gurun Kalihari di Afrika. Lalu Robert Gardner memproduksi salah satu film antropologis penting, Dead Birds (1963) yang menggambarkan suku Dani di Indonesia dengan ritual perangnya. Di Perancis, beberapa sineas berpengaruh seperti Alan Resnais, Georges Franju, serta Chris Marker lebih terfokus pada masalah seni dan budaya. Resnais mencuat namanya setelah filmnya, Van Gogh (1948) meraih penghargaan di Venice dan Academy Award. Franju memproduksi beberapa film dokumenter berpengaruh seperti Blood of the Beast (1948) dan Hotel des invalides (1951). Sementara Marker memproduksi Sunday in Peking (1956) dan Letter from Siberia (1958).
Film Dokumenter: Era Direct Cinema
By - Posted on 24 March 2010Pada akhir 50-an hingga pertengahan 60-an perkembangan film dokumenter mengalami perubahan besar. Dalam produksinya, sineas mulai menggunakan kamera yang lebih ringan dan mobil, jumlah kru yang sedikit, serta penolakan terhadap konsep naskah dan struktur tradisional. Mereka lebih spontan dalam merekam gambar (tanpa diatur), minim penggunaan narasi dengan membiarkan obyeknya berbicara untuk mereka sendiri (interview). Pendekatan ini dikenal dengan banyak istilah, seperti “candid” cinema, “uncontrolled” cinema, hingga cinéma vérité (di Perancis), namun secara umum dikenal dengan istilah Direct Cinema. Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya tren ini, yakni gerakan Neorealisme Italia yang menyajikan keseharian yang realistik, inovasi teknologi kamera 16mm yang lebih kecil dan ringan, inovasi perekam suara portable, serta pengisi acara televisi yang popularitasnya semakin tinggi. Pendekatan Direct Cinema terutama banyak digunakan sineas asal Amerika, Kanada, dan Perancis.
Di Amerika, pengusung Direct Cinema yang paling berpengaruh adalah Robert Drew, seorang produser yang juga jurnalis foto. Drew membawahi beberapa sineas dokumenter berpengalaman seperti, Richard Leacock, Don Pannebaker, serta David dan Albert Maysles. Drew memproduksi film-film dokumenter yang lebih ditujukan untuk televisi, satu diantaranya yang paling berpengaruh adalah Primary (1960). Film ini menggambarkan kontes politik antara John Konnedy dan Hubert Humprey di Wisconsin. Drew bersama para asistennya merekam momen demi momen secara spontan. Secara bergantian kamera mengikuti kemana pun dua politisi tersebut pergi, di tempat kerja, bertemu publik di jalanan, berpidato, dan bahkan ketika tengah bersantai di hotel. Dalam perkembangan Leacock, Pannebaker, dan Maysles meninggalkan perusahaan milik Drew dan membentuk perusahaan mereka sendiri. Beberapa diantaranya memproduksi film-film dokumenter penting, seperti What’s Happening! The Beatles in New York (1964) arahan Maysles Bersaudara yang dianggap merupakan film dokumenter Amerika pertama tanpa penggunaan narasi sama sekali.
Di Perancis, salah satu pengusung cinéma vérité yang paling berpengaruh adalah Jean Rouch. Salah satu karyanya yang dianggap paling berpengaruh (bahkan di dunia) adalah Cronicle of a Summer (1961). Rouch berkolaborasi dengan sosiologis, Edgar Morin menggunakan pendekatan baru cinéma vérité, yakni tidak hanya semata-mata melakukan observasi dan bersimpati namun juga provokasi. “You push these people to confess themselves… it’s very strange kind of confession in front of the camera, where the camera is, let’s say, a mirror, and also a window open to the outside” ungkap Rouch. Dalam filmnya tampak Morin berdiskusi dengan pelajar serta para pekerja di Kota Paris tentang kehidupan mereka dengan melayangkan pertanyaan kunci, “Are you happy?”. Rouch membiarkan subyeknya mendefinisikan sendiri masalah mereka secara alamiah melalui performa mereka di depan kamera.
..
Sejak pertengahan 60-an, pengembangan teknologi kamera 16mm dan 35 mm yang semakin canggih serta ringan makin menambah fleksibilitas para pengusung Direct Cinema. Sejak awal 60-an, hampir semua sineas dokumenter telah menggunakan teknik kamera handheld untuk merekam segala peristiwa. Direct Cinema juga berpengaruh pada perkembangan film fiksi secara estetik melalui gerakan new wave, seperti di Perancis. Para sineas new wave seringkali menggunakan kamera handheld, pencahayaan yang tersedia, kru yang minim, serta shot on location. Bahkan film-film (fiksi) mainstream pun seringkali mengadopsi teknik Direct Cinema untuk menambah unsur realisme sebuah adegan. Pendekatan Direct Cinema secara umum berpengaruh perkembangan seni film di dunia terutama pada era 60-an dan 70-an.
Film Dokumenter: Warisan Direct Cinema dan Perkembangannya Hingga Kini
By - Posted on 24 March 2010Dalam perkembangannya, Direct Cinema terbukti sebagai kekuatan yang berpengaruh sepanjang sejarah film dokumenter. Berbagai pengembangan serta inovasi teknik serta tema bermunculan dengan motif yang makin bervariasi. Salah satu bentuk variasi dari Direct Cinema yang paling populer adalah “rockumentaries” (dokumentasi musik rock). Rockumentaries memiliki bentuk serta jenis yang beragam. Let it Be (1970) memperlihatkan grup musik legendaris The Beatles yang tengah mempersiapkan album mereka. Woodstock: Three Days of Peace & Music (1970) garapan Michael Wadleigh merupakan dokumentasi dari festival musik tiga hari di sebuah lahan pertanian yang menampilkan beberapa musisi rock papan atas. Woodstock sering dianggap sebagai film dokumenter musik terbaik sepanjang masa dan menjadi dasar berpijak bagi film-film dokumentasi sejenis berikutnya. Pada dekade mendatang, This is Spinal Tap (1984) merupakan sebuah parodi rockumentary yang terbukti paling sukses komersil pada masanya.
Tradisi Direct Cinema juga tampak pada film-film kontroversial karya Fredrick Wiseman. Film-filmnya banyak bersinggungan dengan kontrol sosial, berkait erat dengan birokrasi dan bagaimana masyarakat dibuat frustasi olehnya. Dalam film debutnya, High School (1968) memperlihatkan bagaimana para siswa berontak melawan birokrasi di sekolah mereka. Maysles Bersaudara memproduksi film “Direct Cinema” Amerika berpengaruh, Salesman (1966) yang menggambarkan seorang salesman yang gagal. Sejak era 70-an, format film dokumenter mulai berubah melalui kombinasi pendekatan Direct Cinema, kompilasi footage, narasi, serta iringan musik. Salah satu sineas yang mempelopori format kombinasi ini adalah Emile De Antonio melalui film anti perangnya, Vietnam: In the Year’s of the Pig (1969). Dalam perkembangannya format ini mendominasi gaya film dokumenter selama beberapa dekade ke depan. Munculnya format digital juga semakin memudahkan siapa pun untuk memproduksi film dokumenter. Kritik sosial dan politik, lingkungan hidup, serta keberpihakan kaum minoritas masih menjadi menu utama tema film dokumenter beberapa dekade ke depan.
Beberapa sineas dokumenter berpengaruh muncul selama periode 70-an hingga kini. Erol Morris memproduksi film-film dokumenter unik dengan tema dan subyek yang tak lazim, seperti Gates of Heaven (1978), The Thin Blue Line (1988), serta Mr. Death (2000). Barbara Kopple dikenal melalui filmnya bertema demonstasi buruh, yakni, Harlan County, USA (1976) dan American Dream (1990). Michael Moore gemar melakukan kritik sosial dan politik melalui film-filmnya Roger and Me (1989), Bowling for Columbine (2001), Fahrenheit 9/11 (2004) serta Sicko. Kevin Rafferty dikenal melalui film-filmnya seperti The Atomic Café (1982) dan The Last Cigarettes (1999). Pendekatan eksotis Flaherty juga masih tampak dalam film peraih Oscar, March of the Penguins (2005) yang tercatat sebagai film dokumenter terlaris sepanjang masa. Selama sejarah perkembangannya, film dokumenter terbukti dapat lebih manipulatif ketimbang film-film fiksi komersil. Film dokumenter melalui penyajian dan subyektifitasnya seringkali cenderung menggiring kita untuk memihak. Masalah etika dan moral selalu dipertanyakan. Sineas dokumenter seyogyanya tidak hanya mampu menyajikan fakta namun juga kebenaran. (hp)
Jenis-Jenis (Genre) Film Dokumenter
By - Posted on 09 July 2011Genre berarti jenis atau ragam, merupakan istilah yang berasal dari bahasa Perancis. Kategorisasi ini terjadi dalam bidang seni-budaya seperti musik, film serta sastra. Genre dibentuk oleh konvensi yang berubah dari waktu ke waktu. Dalam kenyataannya bahwa setiap genre berfluktuasi dalam popularitasnya dan akan selalu terikat erat pada faktor-faktor budaya.
Namun, mengapa penonton film bisa menikmati konvensi yang sama berulang-ulang? Jawabnya menurut banyak cendekiawan film adalah bahwa genre merupakan drama ritual kehidupan manusia yang menyerupai perayaan hari besar atau upacara yang dapat memuaskan hasrat mereka karena unsur-unsurnya dapat menegaskan kembali nilai-nilai budaya dengan sedikit variasi.
Dalam film, terutama film cerita banyak sekali genre yang sudah dikenal oleh masyarakat seperti melodrama, western, gangster, horor, science fiction (sci-fi), komedi, action, perang, detektif dan sebagainya. Namun dalam perjalanannya, genre-genre film tersebut sering dicampur satu sama lain (mix genre) seperti horor-komedi, western-komedi, horror-science fiction dan sebagainya. Selain itu genre juga bisa masuk ke dalam bagian dirinya yang lebih spesifik yang kemudian dikenal dengan sub-genre, contohnya dalam genre komedi dikenal sub-genre seperti screwball comedy, situation comedy (sit-com), slapstick, black comedy atau komedi satir dan sebagainya.
Demikian pula dalam film dokumenter, mencuplik dari buku yang berjudul Dokumenter : Dari Ide Sampai Produksi, Gerzon R. Ayawaila membagi genre menjadi dua belas jenis. Akan tetapi menurut penulis beberapa jenis film dokumenter yang ada di dalam buku tersebut sebenarnya bisa dikelompokkan lagi.
1. LAPORAN PERJALANAN
Jenis ini awalnya adalah dokumentasi antropologi dari para ahli etnolog atau etnografi. Namun dalam perkembangannya bisa membahas banyak hal dari yang paling penting hingga yang remeh-temeh, sesuai dengan pesan dan gaya yang dibuat. Istilah lain yang sering digunakan untuk jenis dokumenter ini adalah travelogue, travel film, travel documentary dan adventures film.
Film Nanook of the North (1922) karya Robert Flaherty oleh banyak pengamat dianggap sebagai film perjalanan yang awal. Dibuat selama satu tahun penuh oleh Flaherty dibuat walaupun sebenarnya film ini hanya menceritakan aktivitas Nanook dan keluarganya (perdagangan, berburu, memancing dan migrasi dari suatu kelompok hampir tidak tersentuh oleh industri teknologi).
John Grierson pernah membuat sebuah film berjudul Song of Ceylon yang merupakan laporan perjalanannya di negeri yang sekarang bernama Sri Lanka. Disutradari oleh Basil Wright, film ini terbagi menjadi empat sequence, pertama tentang Buddha dan penganutnya, di mana diperlihatkan kehidupan keagamaan serta perjalanan ummat ke keindahan pulau dan aktivitas penghuningnya, menceritakan tentang wilayah yang sekarang dikenal dengan Sri Lanka. Bagian pertama menggambarkan kehidupan keagamaan Sinhala, yang dipadu dengan ritual Buddha serta keindahan alam di sana. Dibuka dengan serangkaian alat logam di atas daun kelapa, kita kemudian secara bertahap diajak melihat perjalanan orang-orang ke Bukit Adam – pusat ziarah umat Buddha selama lebih dari dua ratus tahun – yang kemudian diintercut dengan gambar-gambar alam sekitarnya serta serangkaian patung Buddha. Bagian dua memfokuskan pada kehidupan kerja Sinhala, dalam sequence ini Basil Wright menekankan hubungan intim mereka dengan lingkungan sekitarnya dengan memperlihatkan penduduk yang membuat tembikar, ukiran kayu dan sedang membangun rumah, sementara anak-anak bermain. Bagian ketiga dari film ini memperkenalkan kedatangan sistem komunikasi modern ke dalam gaya hidup ‘alami’ dan di bagian terakhir dari film ini, kita kembali ke kehidupan keagamaan Sinhala di mana orang berpakaian mewah untuk melakukan tarian ritual.
Sekarang ini banyak televisi yang membuat program dengan pendekatan dokumenter perjalanan, misalnya Jelajah (Trans TV), Jejak Petualang (TV7/Trans7), Bag Packer (TVOne) dan sebagainya, bahkan di beberapa televisi berbayar membuat saluran televisi khusus laporan perjalanan seperti Travel and Living. Dikarenakan penayangannya di televisi, maka kedalaman permasalahannya sangat disesuaikan dengan kebutuhan televisi.
2. SEJARAH
Dalam film fiksi, tema sejarah pernah menjadi sebuah pencapaian estetika yang tinggi ketika Sergei Eisenstein dan Alexandre Dovzhenko membuat film–film yang banyak mengangkat latar belakang cerita dari tirani kekuasaan Tsar Nicholas II serta perebutan kekuasaan dari status quo oleh kaum komunis. Pada tahun 1976, Alan J. Pakula juga pernah mengangkat penyelidikan (investigasi) skandal Watergate di Amerika Serikat oleh dua orang wartawan Washington Post, Carl Bernstein dan Bob Woodward.
Dalam film dokumenter, genre sejarah menjadi salah satu yang sangat kental aspek referential meaning-nya (makna yang sangat bergantung pada referensi peristiwanya) sebab keakuratan data sangat dijaga dan hampir tidak boleh ada yang salah baik pemaparan datanya maupun penafsirannya. Tidak diketahui sejak kapan dokumenter sejarah ini digunakan, namun pada tahun 1930-an Rezim Adolf Hitler telah menyisipkan unsur sejarah ke dalam film-filmnya yang memang lebih banyak bertipe dokumenter. Khususnya film-film yang disutradarai oleh Leni Refensthal seperti Triumph of the Will (1934), Olympia I : Festival of Nations (1937) & Olympia II : Festival of Beauty (1938). Pada awal film Olympia I divisualisasikan tentang bangsa Aria di masa lalu sedang melakukan oleh raga seperti lari, lempar lembing, lempar cakram dan sebagainya. Sedangkan tahun 1955, Alain Resnais membuat film Night and Fog yang mencengangkan dunia pada masa itu sebab ia menggambarkan bagaimana terjadinya genosida kaum Yahudi oleh tentara Nazi dalam sebuah kamp konsentrasi.
Pada masa sekarang, film sejarah sudah banyak diproduksi karena terutama karena kebutuhan masyarakat akan pengetahuan dari masa lalu. Tingkat pekerjaan masyarakat yang tinggi sangat membatasi mereka untuk mendalami pengetahuan tentang sejarah, hal inilah yang ditangkap oleh televisi untuk memproduksi film-film sejarah. Sekarang ini di Metro TV sering ditayangkan Metro Files, program dokumenter yang mengupas sejarah yang tidak terungkap di Indonesia. Dalam beberapa tayangannya sempat membahas tentang budaya Tionghoa di Jakarta (Batavia) dalam judul Merah Hitam di Batavia, pengupasan kepahlawanan Dr. Johannes Leimena, seorang negarawan yang gigih dan memberi kontribusi terhadap berdirinya puskesmas dalam judul Mutiara dari Timur, serta tentang tokoh pergerakan bangsa yang berjuang melalui pendidikan dalam Lentera Bangsa.
3. POTRET / BIOGRAFI
Sesuai dengan namanya, jenis ini lebih berkaitan dengan sosok seseorang. Mereka yang diangkat menjadi tema utama biasanya seseorang yang dikenal luas – di dunia atau masyarakat tertentu – atau seseorang yang biasa namun memiliki kehebatan, keunikan ataupun aspek lain yang menarik. Ada beberapa istilah yang merujuk kepada hal yang sama untuk menggolongkannya. Pertama, potret yaitu film dokumenter yang mengupas aspek human interest dari seseorang. Plot yang diambil biasanya adalah hanya peristiwa–peristiwa yang dianggap penting dan krusial dari orang tersebut. Isinya bisa berupa sanjungan, simpati, krtitik pedas atau bahkan pemikiran sang tokoh. Misalnya saja film Fog of War (2003) karya Errol Morris yang menggambarkan pemikiran strategi hidup dari Robert S. McNamara, mantan Menteri Pertahanan di masa pemerintahan Presiden John. F Kennedy dan Presiden Lyndon Johnson. Selain itu ada beberapa film yang berwujud potret seperti Salvador Dali: A Soft Self-Portrait (1970) karya Jean-Christophe Averty, Maria Callas: La Divina – A Portrait (1987) karya Tony Palmer, Zidane : A 21st Century Portrait (2006) yang disutradarai Douglas Gordon serta Phillipe Parreno dan lain sebagainya.
Kedua, biografi yang cenderung mengupas secara kronologis dari yang secara garis penceritaan bisa dari awal tokoh dilahirkan hingga saat tertentu (masa sekarang, saat meninggal atau saat kesuksesan sang tokoh) yang diinginkan oleh pembuat filmnya. Film The Day After Trinity (1981) karya Jon Else adalah salah satunya. Film ini berkisah tentang seputar bom atom yang diciptakan oleh Robert Oppenheimer dan penyesalannya terhadap penyalahgunaan teknologi itu untuk membombardir Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945. Metro TV dalam Metro Files-nya pernah mengulas tentang perjuangan Laksamana Muda John Lie yang memperjuangkan Indonesia dari laut di mana pada saat itu banyak orang masih bergunjing tentang pribumi dan keturunan.
Ketiga, profil. Sub-genre ini walaupun banyak persamaannya namun memiliki perbedaan dengan dua di atas terutama karena adanya unsur pariwara (iklan/promosi) dari tokoh tersebut. Pembagian sequence-nya hampir tidak pernah membahas secara kronologis dan walaupun misalnya diceritakan tentang kelahiran dan tempat ia berkiprah, biasanya tidak pernah mendalam atau terkadang hanya untuk awalan saja. Profil umumnya lebih banyak membahas aspek–aspek ‘positif ’ tokoh seperti keberhasilan ataupun kebaikan yang dilakukan. Film–film seperti ini dibuat oleh banyak orang di Indonesia terutama saat kampanye pemilu legeslatif ataupun pemilukada (pemilihan umum kepala daerah).
Akan tetapi sub-genre profil ini tidak berhenti pada orang / masuia namun bisa juga sebuah badan (institusi) seperti perusahaan, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, organisasi politik dan sebagainya yang lebih dikenal dengan sitilah profil niaga atau company profile. Film profil tentang perusahaan awal sekali dibuat tahun 1906 oleh perusahaan film Cricks and Martin Films dengan filmnya A Visit to Peek Frean and Company’s Biscuit Factory, film ini memaparkan proses pembuatan, pengemasan hingga pendistribusian biskuit di sebuah pabrik. Namun film profil perusahaan yang awal sekali dibuat adalah pesanan perusahaan Imperial Airways yang disutradarai oleh Paul Rotha dengan judul Contact (1933). Pada masa sekarang, profil perusahaan lebih sering dibuat terutama untuk mengiklankan perusahaan itu sendiri.
Film Dokumenter mempromosikan Imperial Airways yang difokuskan pada tahapan perjalanan udara. Kebanyakan adegannya menampilkan gambar–gambar udara yang diambil dari pesawat terbang.
Paul Rotha sebenarnya adalah kritikus film dan sebelum film pertamanya Contact pada tahun 1929 tulisannya yang berjudul The Film Till Now sangat berpengaruh pada masa itu. sebelum ia membuat film pertamanya Kontak di 1933. Bahkan ia sempat bergabung dengan gerakan film dokumenter yang dipimpin John Grierson. Film Contact dibuat terlepas dari grakan tersebut sebab diproduksi oleh British Instructional Films dan dibiayai oleh Imperial Airways.
Film ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menunjukkan para pekerja dalam yang sedang bekerja pada konstruksi pesawat terbang sampai pesawat–pesawat itu siap diterbangkan. Bagian dua menunjukkan pesawat yang melakukan perjalanan ke seluruh dunia. Adegan awal dibuka dengan adegan yang diolah secara eksperimental yaitu menggunakan montage cepat dari berbagai alat transportasi. Montage ini berfungsi sebagai transisi untuk masuk pada transportasi pesawat yang dipandang sebagai keajaiban baru dalam teknologi transportasi. Setelah itu masuk ke adegan perakitan pesawat di mana Rotha melakukan percobaan dengan menggunakan teknik blur dan fokus lensa secara bergantian antara mesin dan mesin. Teknik ini merupakan proses konstruksi dan menyoroti hubungan intim antara manusia dan mesin. Bahkan gambar–gambar berikut memperlihatkan bandara sedang dibangun serta orang-orang naik pesawat.
Diperlihatkan sebuah penerbangan rute trans-Atlantik ini dan pace dari editingnya lebih lambat dari adegan sebelumnya. Di tengah perjalanan, penonton diperlihatkan sejumlah gambar yang diambil dari pesawat ketika rutenya memasuki wilayah Afrika Utara dan Eropa Selatan seperti Nairobi, Athena dan Kairo. Penonton disuguhi adalah landmark yang dikenal di dunia dan gambar–gambar tersebut diambil dari jendela kecil yang bisa digeser yang berada di dalam kokpit pesawat. Seperti di banyak film dokumenter, keterpaduan alam dan teknologi disajikan dalam adegan–adegan ini dan kemajuan teknologi dipandang sebagai proses kelahiran visual yang baru dan menarik.
Pada bagian kedua dari film ini mengajak penonton kembali lagi ke adegan awal film tersebut yaitu perjalanan kereta api, namun pada bagian kedua ini lebih digunakan untuk menghasilkan gambar yang indah. Gambar–gambar tersebut seolah seperti memanfaatkan film sebagai sarana perjalanan virtual. Contact, juga, menggabungkan unsur–unsur sinema dan transportasi udara untuk menciptakan kemungkinan–kemungkinan visual yang baru. Film tersebut akhirnya tidak hanya mempromosikan perjalanan udara, tetapi juga menjadi simulasi perjalanan udara bagi warga yang tidak memiliki uang untuk bisa naik pesawat udara.
4. NOSTALGIA.
Film–film jenis ini sebenarnya dekat dengan jenis sejarah, namun biasanya banyak mengetengahkan kilas balik atau napak tilas dari kejadian–kejadian dari seseorang atau satu kelompok. Pada tahun 2003, Rithy Panh membuat S21: The Khmer Rouge Death Machine di mana ia mendatangkan beberapa orang yang merupakan dua pihak dari kekejaman Khmer Merah, baik dari pihak korban maupun para penyiksa di masa lalu.
Diceritakan Vann Nath dan Chum Mey, dua korban yang selamat dari Penjara Khmer Merah, Tuol Sleng. Mereka bertemu kembali dan kembali ke bekas penjara yang sekarang menjadi museum di Phnom Penh. Bahkan mereka bertemu mantan penculik mereka, baik bekas penjaga, bekas interogator, seorang dokter dan seorang fotografer. Banyak di antara mereka yang masih berusia remaja selama era Khmer Merah berkuasa (1975-1979). Penampilan mereka sangat kontras dengan dua mantan tahanan yang keduanya pria tua, bhkan rambut VannNath sudah banyak yang putih
Para mantan penjaga dan interogator memberikan tur museum, mereka menjelaskan kembali perlakuan mereka terhadap para tahanan. Mereka memperlihatkan kembali dokumentasi yang sangat rinci tentang penjara tersebut, baik dalam bentuk catatan–catatan bahkan foto. Hal ini untuk menyegarkan kembali ingatan mereka tentang peristiwa pada masa itu. Pada satu titik, Vann Nath langsung dihadapkan dengan mantan penculiknya. Para mantan interogrator itu juga merasa bahwa diri mereka adalah korban, sebab pilihan menjadi tentara saat usia mereka sangat muda merupakan paksaan dari pemerintah.
5. REKONSTRUKSI
Dokumenter jenis ini mencoba memberi gambaran ulang terhadap peristiwa yang terjadi secara utuh. Biasanya ada kesulitan tersendiri dalam mempresentasikannya kepada penonton sehingga harus dibantu rekonstruksi peristiwanya. Perisitiwa yang memungkinkan direkonstruksi dalam film-film jenis ini adalah peristiwa kriminal (pembunuhan atau perampokan), bencana (jatuhnya pesawat dan tabrakan kendaraan), dan lain sebagainya. Contoh film jenis ini adalah Jejak Kasus, Derap Hukum dan Fokus.
Rekonstruksi yang dilakukan tidak membutuhkan mise en scene (pemain, lokasi, kostum, make-up dan lighting) yang persis dengan kejadiannya, sehingga sangat berbeda doku-drama yang memang membutuhkan keotentikan yang tinggi. Yang hendak dicapai dari rekonstruksi di sini adalah sekedar proses terjadinya peristiwanya itu. Dalam membuat rekonstruksi, bisa dilakukan dengan shoot live action atau bisa juga dibantu dengan animasi.
National Geographic Channel dalam seri televisinya pernah membuat Locked-Up Abroad yang umumnya bercerita penangkapan yang berlatar belakang narkoba, terorisme hingga permasalah lain. Permasalahannya penangkapan tersebut dilakukan di luar negara tokoh dalam film tersebut sehingga membuat persoalannya menjadi semakin rumit. Dalam tayangan tersebut, konstruksi biasanya digunakan untuk menggambarkan kejadian–kejadian yang dialami tokoh yang bercerita dalam tayangan tersebut.
6. INVESTIGASI
Jenis dokumenter ini memang kepanjangan dari investigasi jurnalistik. Biasanya aspek visualnya yang tetap ditonjolkan. Peristiwa yang diangkat merupakan peristiwa yang ingin diketahui lebih mendalam, baik diketahui oleh publik ataupun tidak. Umpamanya korupsi dalam penanganan bencana, jaringan kartel atau mafia di sebuah negara, tabir dibalik sebuah peristiwa pembunuhan, ketenaran instan sebuah band dan sebagainya. Peristiwa seperti itu ada yang sudah terpublikasikan dan ada pula yan belum, namun persisnya seperti apa bisa jadi tidak banyak orang yang mengetahui.
Terkadang, dokumenter seperti ini membutuhkan rekonstruksi untuk membantu memperjelas proses terjadinya peristiwa. Bahkan di beberapa film aspek rekonstruksinya digunakan untuk menggambarkan dugaan-dugaan para subjek di dalamnya. Misalnya yang dilakukan oleh Errol Morris dalam filmnya The Thin Blue Line, rekonstruksi digunakan untuk memperlihatkan seluruh kemungkinan dan detil peristiwa yang terjadi saat itu, misalnya merk mobil, bentuk lampu, jarak pandang dan sebagainya.
7. PERBANDINGAN & KONTRADIKSI
Dokumenter ini mentengahkan sebuah perbandingan, bisa dari seseorang atau sesuatu seperti film Hoop Dreams (1994) yang dibuat oleh Steve James. Selama empat tahun, ia mengikuti perjalanan dua remaja Chicago keturunan Afro-America, William Gates dan Arthur Agee untuk menjadi atlit basket profesional.
Michael Moore dalam Sicko (2007) membandingkan kebijakan dan pelayanan kesehatan di Amerika Kesehatan dengan tiga negara maju lainnya, yaitu Kanada, Inggris dan Perancis serta satu negara berkembang yang justru tetangga Amerika Serikat sendiri yaitu Kuba. Hasilnya ternyata Amerika Serikat sangat jauh tertinggal dalam pelayanan kesehatan bahkan antara orang yang punya asuransi dan yang tidak memiliki asuransi hampir tidak ada bedanya sebab pada akhirnya uang asuransi mereka juga sulit keluar sehingga mereka harus membayar sendiri biaya dokter atau rumah sakitnya. Negara pembandingnya sangat-sangat menyejahterakan penduduknya, bahkan di Kuba, orang yang sakit hanya ditanya nama dan usia – sama sekali tidak ditanya warga negara atau bukan – saat mendaftar ke klinik atau rumah sakit yang kemudian setelah itu pada pasien tersebut ditunjuk seorang dokter dan seorang perawat yang akan mengurusnya. Sedangkan di Amerika Serikat sendiri seorang pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan di rumah sakit atau klinik harus menunggu hingga belasan jam bahkan sampai berhari–hari.
8. ILMU PENGETAHUAN
Film dokumenter genre ini sesungguhnya yang paling dekat dengan masyarakat Indonesia, misalnya saja pada masa Orde Baru, TVRI sering memutar program berjudul Dari Desa Ke Desa ataupun film luar yang banyak dikenal dengan nama Flora dan Fauna. Tapi sebenarnya film ilmu pengetahuan sangat banyak variasinya lihat saja akhir tahun 1980-an ketika RCTI (pada masa itu masih menjadi televisi berbayar) memutar program Beyond 2000, yaitu film ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan teknologi masa depan. Saat itu beberapa kalangan cukup terkejut sebab pengetahuan yang mereka dapatkan berbeda dari dokumenter yang mereka lihat di TVRI. Jenis ini bisa terbgai menjadi sub-genre yang sangat banyak :
A. Film Dokumenter Sains
Film ini biasanya ditujukan untuk publik umum yang menjelaskan tentang suatu ilmu pengetahuan tertentu misalnya dunia binatang, dunia teknologi, dunia kebudayaan, dunia tata kota, dunia lingkungan, dunia kuliner dan sebagainya. Pada beberapa televisi berbayar bahkan beberapa dari yang sudah tersebut di atas telah dibuatkan saluran khusus seperti National Geographic Wild atau Animal Planet yang tentu saja membahas tentang dunia binatang; Asian Food Channel yang banyak mengetengahkan film instruksional dan dokumenter tentang makanan serta dunia di sekitarnya; Home and Health yang membahas masalah kesehatan dalam kehidupan kita; bahkan ada saluran khusus yang membahas tentang dunia mobil, kapal dan pesawat yaitu Discovery Turbo.
B. Film Instruksional
Film ini dirancang khusus untuk mengajari pemirsanya bagaimana melakukan berbagai macam hal mereka ingin lakukan, mulai dari bermain gitar akustik atau gitar blues pada tingkat awal, memasang instalasi listrik, penanaman bungan yang dijamin tumbuh, menari perut untuk menurunkan berat badan, bermain rafting untuk mengarungi arung jeram dan sebagainya. Bahkan ada beberapa film instruksional yang bertujuan lebih serius, seperti bagaimana menjaga pola untuk hidup lebih lama dan lebih kuat dari HIV / AIDS atau seperti yang banyak berkembang saat ini video motivasi tentang meningkatkan kualitas hidup.
9. BUKU HARIAN (DIARY)
Seperti halnya sebuah buku harian, maka film ber–genre ini juga mengacu pada catatan perjalanan kehidupan seseorang yang diceritakan kepada orang lain. Tentu saja sudut pandang dari tema–temanya menjadi sangat subjektif sebab sangat berkaitan dengan apa yang dirasakan subjek pada lingkungan tempat dia tinggal, peristiwa yang dialami atau bahkan perlakuan kawan–kawannya terhadap dirinya. Dari segi pendekatan film jenis memiliki beberapa ciri, yang pada akhirnya banyak yang menganggap gayanya konvensional. Struktur ceritanya cenderung linear serta kronologis, narasi menjadi unsur suara lebih banyak digunakan serta seringkali mencantumkan ruang dan waktu kejadian yang cukup detil, misalnya Rumah Dadang, Jakarta. Tanggal 7 Agustus 2011, Pukul 13.19 WIB. Pada beberapa film, jenis diary ini oleh pembuatnya digabungkan dengan jenis lain seperti laporan perjalanan (travel-doc) ataupun nostalgia.
Salah satu film yang dianggap film berjenis buku harian adalah A Diary for Timothy (1945) adalah film dokumenter Inggris yang disutradarai oleh Humphrey Jennings. Diproduseri Basil Wright untuk Crown Film Unit. Narasinya dibuat oleh pengarang roman Inggris, E. M. Forster, sedangkan Michael Redgrave didaulat sebagai naratornya. Ceritanya tentang perkembangan seorang bayi pada enam bulan pertama selama Perang Dunia II. Diperlihatkan juga proses penyembuhan seorang pilot yang patah kakinya serta seorang penambang yang sedang patah tangannya. Dalam film dokumenter yang dibuat tentang Jennings untuk Televisi Channel 4 yang disutradarai oleh Kevin MacDonald pada tahun 2000, diketahui bahwa bayi yang menjadi subjek film (Timothy James Jenkins) pindah ke Brighton sekitar 1960–an dan berpenampilan modis sebelum akhirnya menjadi guru dan meninggal dunia pada November 2000.
Film lainnya adalah Ito – A Diary of an Urban Priest yang dibuat dengan latar Kota Tokyo dan menceritakan tentang Yoshinobu Fujioka, biksu muda yang memiliki gairah tinggi dalam mencari makna kehidupan ditengah–tengah mimpi yang ‘menindas’, di dalam lorong–lorong kota serta dalam kegelapan pikiran manusia. Yoshinobu sempat mendengarkan pengakuan para perempuan yang di penjara, di bar–bar dan bahkan di sebuah rumah geisha yang sudah tua. Hal tersebut dilakukannya ketika banyak banyak lapisan manusia yang hidup di malam hari di belantara Kota Tokyo serta ingatan–ingatan yang tak terduga yang berubah menjadi jejaring kehidupan yang memaksa orang–orang saling bertatap muka satu dengan lainnya. Mimpi, realitas and khayalan bercampur menjadi satu dalam pelajaran kompleksitas pikiran manusia yan membawa penontonnya ke dalam eksplorasi ingatan saat berhadapan dengan diri mereka sendiri dan orang lain.
10. MUSIK
Genre musik memang tidak setua genre yang lain, namun pada masa 1980 hingga sekarang, dokumenter jenis ini sangat banyak diproduksi. Memang salah satu awalnya muncul ketika Donn Alan Pannebaker membuat film – film yang sebenarnya hanya mendokumentasikan pertunjukkan musik. Misalnya ketika membuat Don’t Look Back yang menggambarkan seorang seniman muda berusia 23 tahun bernama Bob Dylan. Sekarang ini ia lebih dikenal sebagai penyanyi lagu–lagu balada. Pada musim semi 1965 , Bob Dylan menghabiskan tiga minggu di Inggris. Dengan kameranya, Don Pennebaker mengikuti seniman tersebut dari bandara ke tempat ia menyanyi, dari hotel ke balai rakyat, dari sebuah obrolan ke salah satu konsernya. Ini adalah masa di mana Dylan beralih dari peralatan musik akustik ke peralatan musik elektrik, sebuah transisi yang tidak semua penggemarnya suka, bahkan termasuk pacarnya Joan Baez yang juga seorang penyanyi.
Setahun kemudian, pada tahun 1968, Donn Pannebaker membuat Monterey Pop yang merupakan perekaman pertunjukkan Legendary California Music Festival yang sering dianggap sebagai pra-Woodstock yang kemudian mengorbitkan beberapa pemusik, misalnya Jimi Hendrix dan Janis Joplin, yang membuat salah satu penyanyi Amerika yang terkenal yaitu Mama Cass dari grup The Mamas & Papas sangat terpesona melihat penampilannya.
Setelah itu beberapa sutradara melakukan hal yang sama seperti Michael Wadleigh yang mengabadikan pagelaran musik Woodstock dengan membuat dokumenternya dengan judul yang sama pada tahun 1970. Hampir bersamaan waktunya konser musik Rolling Stones juga dibuatkan dokumenternya yang berjudul Gimme Shelter yang disutradarai oleh Albert Maysles, David Maysles dan Charlotte Zwerin. Peristiwanya berlangsung pada bulan Desember 1969, empat bulan setelah Woodstock di mana Rolling Stones dan Jefferson Airplane menggelar konser gratis di California Utara (di sebelah timur Oakland, tepatnya di Altamont Speedway) yang dihadiri oleh sekitar 300,000 orang. Pihak penyelenggaranya menyewa genk motor yang terkenal di Amerika bernama Hell’s Angels yang didapuk sebagai keamanan. Masalahnya para anggota genk tersebut membawa senjata api dan senjata tajam sehingga selama konser berlangsung anggota Hell’s Angels menghabiskan waktunya untuk memukuli para penonton hingga akhirnya satu orang dinyatakan tewas. Film ini menggunakan teknik paralel editing yang disambung berselang-seling antara konser, kekerasan yang terjadi, Grace Slick dan Mick Jagger yang sedang berusaha menenangkan keadaan, close-up para penonton remaja (mereka berjoget, memakai narkoba atau sedang trauma pada perlakuan Hell’s Angel) serta pihak Rolling Stones yang sedang menonton footage konser dan merasa prihatin.
Sejak itu banyak sekali film dokumenter bergenre musik dibuat, namun tidak semuanya merupakan dokumentasi konser musik ataupun perjalanan tur keliling untuk mempromosikan sebuah album. Banyak sutradara yang membuatnya lebih dekat dengan genre lain seperti biografi, sejarah, diary dan sebagainya. Penelope Spheeris membuat dwilogi dokumenter musik yaitu The Decline of Western Civilization : Punk Years (1981) yang membahas terbentuk subkultur dalam musik rock yang dikenal dengan Musik Punk. Banyak band yang terlibat dalam film ini seperti Black Flag, Germs, X, The Bags, Circle Jerks, Catholic Discipline, Fear dan sebagainya. Sedangkan pada tahun 1988, Spheeris meneruskan filmnya dengan membuat yang kedua The Decline of Western Civilization II : Metal Years yang cara penceritaannya hampir sama, hanya saja aliran musik yang diangkat dan tentu saja pemusik serta bandnya juga berbeda. Dalam film kedua ini ia memasukkan band ataupun penyanyi seperti Ozzy Osbourne, Aerosmith, Kiss, Poison, Vixen, Faster Pussycat, Megadeth dan sebagainya.
11. ASSOCIATION PICTURE STORY
Jenis dokumenter ini dipengaruhi oleh film eksperimental. Sesuai dengan namanya, film ini mengandalkan gambar–gambar yang tidak berhubungan namun ketika disatukan dengan editing, maka makna yang muncul dapat ditangkap penonton melalui asosiasi yang terbentuk di benak mereka. Film yang sangat berpengaruh dalam genre ini adalah A Man With The Movie Camera karya Dziga Vertov.
Tahun 1951, Bert Haanstra membuat Panta Rhei (berasal dari bahasa Yunani yang berarti “semuanya mengalir” dari ucapan Heraclitus) yang oleh banyak pengamat film dianggap sebagai ‘latihan jari’ – nya Haanstra setelah sukses membuat Spiegel van Holland (Mirror of Holland). Dalam Panta Rhei, Haanstra bermain dengan keindahan gambar–gambar riak gelombang, tetesan air dari daun, flare dari cahaya matahari, lanskap pegunungan serta hutan dan sebagainya. Gambar–gambar tersebut disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan asosiasi keindahan.
Pada tahun 1980-an Geodfrey Reggio memproduksi dua film yang sangat bergantung pada kekuatan gambarnya, yaitu Koyaanisqatsi (1982) dan Powaqqatsi (1988). Pada film pertama, tagline dari filmnya sudah sangat tegas yaitu Life out of Balance sehingga gambar–gambar yang dibuat memang menuntun untuk penontonnya menjadi sangat tenang karena keseimbangan hidupnya. Sedangkan Powaqqatsi menempatkan tagline-nya adalah Life in Transformation yang menggambarkan dari mulai eksploitasi manusia hingga perubahan zaman dengan teknologi majunya. Film ketiga berjudul Naqoyqqatsi, dengan tagline Life as War yang diproduksi tahun 2001 dan melengkapi trilogi milik Geodfrey Reggio.
Akan tetapi film yang cukup terkenal dari genre ini adalah Baraka (1992) yang dibuat oleh Ron Fricke yang tidak lain adalah sinematografer Geodfrey Reggio pada film Koyanisqqatsi. Dalam Baraka, Fricke mencoba mengangkat aspek kebudayaan manusia dari bentuk primitif hingga modern, bahkan hingga saat manusia merusak alamnya sendiri.
12. DOKUDRAMA
Selain menjadi sub-tipe film, dokudrama juga merupakan salah satu dari jenis dokumenter. Film jenis ini merupakan penafsiran ulang terhadap kejadian nyata, bahkan selain peristiwanya hampir seluruh aspek filmnya (tokoh, ruang dan waktu) cenderung untuk direkonstruksi. Ruang (tempat) akan dicari yang mirip dengan tempat aslinya bahkan kalau memungkinkan dibangun lagi hanya untuk keperluan film tersebut. Begitu pula dengan tokoh, pastinya akan dimainkan oleh aktor yang sebisa mungkin dibuat mirip dengan tokoh aslinya. Contoh dari film dokudrama adalah ini adalah JFK (Oliver Stone), G30S/PKI (Arifin C. Noer), All The President’s Men (Alan J. Pakula) dsb. Uniknya, di Indonesia malah pernah ada dokudrama yang tokoh utamanya dimainkan oleh pelakunya sendiri yaitu Johny Indo karya Franky Rorimpandey. Pada waktu itu sangat menghebohkan karena Johny Indo juga dikenal sebagai pemain film sebelum kejadian perampokan toko emas.
CATATAN :
Pada masa sekarang ini perkembangan genre sangatlah cepat. Seperti yang sudah disinggung pada awal pembahasan ini bahwa genre mengalami metamorfosis dengan ‘membelah-diri’ dan membentuk sub-genre, seperti genre Ilmu Pengetahuan kemudian diketahui banyak sekali pecahannya dari mulai dunia hewan, dunia tumbuhan, instruksional dan sebagainya. Bahkan pada beberapa sumber di internet, bisa juga terbentuk genre baru seperti yang terjadi pada film dokumenter yang membahas dunia hewan sering disebut dengan Animal Documentary.
Genre di dalam film dokumenter juga bisa saling bercampur, biasanya sering disebut dengan istilah mix-genre. Saluran MTV pernah membuat program yang berjudul Biorythm yang menggabungkan antara genre biografi, musik dan association picture story. Sekarang ini sangat sulit membendung terbentuknya genre–genre baru yang muncul dari genre yang sudah ada atau karena kebutuhan lain untuk hanya untuk membedakan saja.
Sumber: http://kusendony.wordpress.com/
Kusen Dony Hermansyah, M.Sn. adalah staf pengajar di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta.
Tipe-Tipe (Mode) Dokumenter
By - Posted on 09 July 2011Ketika pembahasan menyentuh persoalan genre, maka kecenderungannya lebih dekat dengan permasalahan atau tema yang diangkat, sehingga lebih merujuk pada penceritaannya. Sedangkan tipe film lebih cenderung mengelompokkan dari pendekatan wujud yang terlihat secara kasat mata serta dapat dirasakan dampaknya oleh penonton, sehingga lebih dekat dengan gaya film seperti unsur mise en scene, sinematografi, editing dan suara.
Bill Nichols adalah orang yang mengklasifikasikan tipe–tipe film dokumenter, dikarenakan ada beberapa hal yang mirip atau sama dalam beberapa film dokumenter. Namun sebelum masuk ke dalam tipe–tipe film dokumenter, Warren Buckland memberi catatan pada asumsi banyak orang tentang dokumenter yaitu :
1. TIPE EXPOSITORY
Tipe ini yang paling klasik dibandingkan yang lain karena banyak digunakan untuk film dokumenter yang ditayangkan oleh televisi pada masa sekarang. Pada tahun 1930-an, tokoh besar dokumenter, John Grierson menawarkan sebuah betuk yang sangat berbeda dari dokumenter sebelumnya yang dianggap terlalu puitik. Tawaran tersebut adalah paparan yang berupa penjelasan (explanation) yang bersamaan dengan gambar–gambar di film. Menurutnya, dengan menggunakan paparan yang menjelaskan maka pembuat film dokumenter bisa ‘naik kelas’ dari yang semula mengangkat tema–tema propaganda sosial ke tema–tema masalah sosial di dunia. Perbedaan yang tajam dengan film dokumenter yang dianggap puitik seperti yang dibuat oleh Joris Ivens (The Bridge dan Rain) ataupun Dziga Vertov (A Man With A Movie Camera) adalah pada penggunaan aspek visual dan cara berceritanya. Dasar pemikiran dari perbedaan itu adalah penekanannya pada isi film yang cenderung retorik ataupun tujuannya yaitu penyebaran informasi secara persuasif.
Sedangkan Bill Nichols memaparkan bahwa expository memasukkan narasi (voice over commentary) dengan ‘paksaan’ yang dikombinasikan dengan serangkaian gambar yang bertujuan agar lebih deksriptif dan informatif. Narasi sendiri diarahkan langsung kepada penonton dengan menawarkan serangkaian fakta dan argumentasi yang ilustrasinya bisa didapatkan dari shot–shot yang menjadi insert-nya. Selain itu narasi ada beberapa hal yang bisa menjadi kekuatan narasi yaitu :
- Narasi dapat menyampaikan informasi abstrak yang tidak mungkin digambarkan oleh shot–shot yang disuguhkan.
- Narasi dapat memperjelas peristiwa atau action tokoh yang terekam kamera dan kurang dipahami oleh penonton.
Narasi adalah inovasi yang nyata pada film dokumenter yang memiliki kecenderungan untuk memaparkan sesuatu dengan lebih gamblang. Pada awal kemunculannya seperti sesuatu yang ada di mana-mana (omnipresent), mahatahu (omniscient) dan berupa suara objektif yang menjelaskan ilustrasi gambarnya. Narasi menjaga bobot penceritaan dan argumentasi dari kandungan retoris sebuah. Pada masa itu dokumenter puitik berkembang pesat di kalangan filmmaker sebab mampu menjadi tafsir subjektif dan estetik pada sebuah subjek visual. Tentu saja hal tersebut seperti memberi kemerdekaan bagi para filmmaker pada waktu itu.
Pada masa sekarang, sayangnya banyak pembuat dokumenter yang justru terjebak pada unsur pembicaraannya (speech) saja. Akhirnya banyak bermunculan film-film dokumenter dengan wawancara atau narasi pada ‘sekujur tubuh’ filmnya dan ilustrasi berupa shot–shotnya sekedar menjadi pemanis belaka. Tidak jarang karena kekurangan ilustrasi shot akhirnya penonton terpaksa melihat subjek–subjek yang sedang berbicara atau dikenal dengan istilah talking head. Hal ini dikarenakan banyak dari filmmaker kurang memahami subjek filmnya atau terkadang data riset yang didapat masih di permukaan permasalahan saja.
Film dokumenter dengan tipe expository ini sangat banyak kalau harus disebutkan satu per satu. Tapi setidaknya pada masa John Grierson saja ada beberapa film dokumenter dengan tipe ini yang diproduksi antara lain Drifters (1929) karya John Grierson; Coalface (1935) karya Alberto Calvacanti; Night Mail (1936) karya Harry Watt dan Basil Wright; North Sea (1938) karya Harry Watt; Song of Ceylon (1939) karya Basil Wright; dan Spare Time (1939) karya Humprey Jennings. Sedangkan di Indonesia juga sudah sangat banyak diproduksi film–film dengan tipe seperti ini misalnya Bye Bye Buyat (2005) karya Kang E, Trimbil lan Bratil (2006) karya Tomy Widiyatno Taslim, Mothers Tears (2004) karya Toni Trimarsanto; Gerakan Mahasiswa / Student Movement (2002) karya Tino Saroenggaloe dan sebagainya. Bahkan sudah banyak film dokumenter yang diproduksi televisi yang mengadopsi tipe ini karena dianggap lebih memungkinkan untuk diproduksi. Selain pengemasan datanya dianggap lebih mudah dibandingkan tipe lain, juga waktu produksinya lebih bisa diukur. Beberapa film dokumenter televisi itu adalah Metro Files yang banyak mengulas tentang peristiwa bersejarah di Indonesia.
2. TIPE OBSERVATIONAL
Film dokumenter observational merupakan film yang filmmaker-nya menolak untuk mengintervensi objek dan peristiwanya. Mereka berusaha untuk netral dan tidak memberi menghakimi subjek atau peristiwanya. Tipe ini juga menolak menggunakan narasi (voice-of-god), komentar dari luar ruang cerita, wawancara, bahkan menolak penggunaan tulisan panjang yang menjelaskan adegan (intertitles) seperti yang digunakan Robert Flaherty dalam film Nanook of the North. Penekanannya untuk memaparkan potongan kehidupan manusia sceara akurat atau mempertunjukkan gambaran kehidupan manusia secara langsung. Cara ini dipergunakan sebagai observasi sederhana untuk mereka bentangan peristiwa yang ada di depan filmmaker-nya. Dengan bahasa sederhana, filmmaker tidak ikut campur terhadap subjek atau peristiwa yang ada di depannya dan ia hanya merekam dengan kameranya dan alat perekam suaranya. Hal inilah yang membuat tipe observational dikenal dengan Direct Cinema yang akhirnya menjadi sebuah gaya dalam film dokumenter.
Secara teknis bila didalami saat merekam subjeknya, filmmaker-nya lebih banyak menggunakan teknik long take karena kamera menangkap gambar secara kontinyu dan tanpa terpenggal. Suaranya pun akan diperlakukan sama dengan apa yang dilakukan oleh kameranya. Dalam editingnya pun log take shot sering dibiarkan dan terkadang hanya menggunakan beberapa pemotongan saja.
Seperti yang dilakukan oleh Frederick Wiseman saat membuat film High School yang mengangkat keseharian di sebuah sekolah di Philadelphia tahun 1968. David Bordwell dan Kristin Thompson menyebutkan bahwa ketika membuat High School, Frederick Wiseman memperlihatkan interaksi dan konflik antara guru dan murid yang kebanyakan alasannya karena pemberian sanksi oleh guru–guru di sekolah. Gambaran pendidikan yang ‘kejam’ dalam film ini seperti merepresentasikan sistem pendidikan di Amerika Serikat. Walaupun Frederick Wiseman tidak bermaksud menjadikan film ini sebagai film politik, namun banyak politikus dan pengamat politik menganggap bahwa film High School ini bemuatan pemikiran sosialisme.
Selain itu ada Donn Alan Pannbaker yang mengikuti perjalanan Bob Dylan ke Inggris dalam rangka konser musiknya di sana Pannebaker mengemasnya menjadi film Don’t Look Back (1967). Begitu pula yang dilakukan oleh Robert Drew ketika membuat Primary (1960) dengan mengikuti safari politik / kampanye dari John F. Kennedy and Hubert Humphrey.
3. Tipe Interactive
Bila ditilik dari sejarahnya, tipe interctive pernah menjadi bagian dari film A Man With A Movie Camera karya Dziga Vertov, di mana dia memasukkan adiknya, Mikhail Kaufman (sinematografer) dan isterinya, Elizaveta Svilova (editor) ke dalam frame film tersebut sehingga penonton bisa melihat kehadiran mereka.
Tipe dokumenter interactive menjadi kebalikan dari dokumenter observational, di mana pada observational, filmmaker tidak pernah atau tidak boleh tampak di dalam filmnya. Sedangkan tipe interactive, filmmaker-nya menampakkan diri secara mnyolok di layar dan sering melibatkan diri pada peristiwa serta berinteraksi dengan subjeknya. Aspek utama dari dokumenter interactive adalah wawancara, terutama dengan subjek–subjeknya sehingga bisa didapatkan komentar–komentar dan respon langsung dari narasumbernya (subjek film). Dengan deimikian subjek dalam film tersebut bisa menyampaikan pendapat dan pandangan mereka terhadap permasalahan yang diangkat oleh filmmaker-nya. Ketika di meja editing, pendapat–pendapat tersebut bisa disuguhkan secara berselang–seling sehingga menghasilkan pendapat yang saling mendukung satu sama lain atau sebaliknya, saling bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu, di sini jelas bahwa wawancara dibuat bertujuan sebagai argumentasi filmmaker terhadap permasalahan yang diangkat dan tidak ada usaha untuk menjadi netral terhadap permasalahan tersebut.Tidak mudah bagi Michael Moore ketika membuat film Roger and Me (1989) untuk menyampaikan kepada penonton masalah ironi, kelucuan hingga kemarahan yang terkandung dalam film itu. Cerita yang diangkat adalah tentang kemeroston kehidupan kota Flint di Michigan di mana kota tersebut sudah sangat bergantung pada kehadiran General Motor di wilayah tersebut. Perusahaan itu bisa mengangkat perekonomian kota sedemikian rupa. Sampai ada keputusan dari Roger Smith sebagai kepala General motor, untuk memindahkan pabriknya ke Mexico karena buruh di sana bisa dibayar lebih murah sehingga bisa menekan biaya produksinya. Kemudian kota Flint berubah menjadi kota termiskin di Amerika Serikat dan terpuruk drastis secara ekonomi. Dalam film tersebut Michael Moore mewawancara Roger Smith serta mengajaknya untuk melihat lagi kota Flint setelah penutupan pabrik Genereal Motor. Editingnya dibuat berselang–seling antara wawancara dengan Roger Smith dengan wawancara dengan masyarakat setempat.
Film Super Size Me karya Morgan Spurlock mengangkat tentang dampak dari makanan ‘sampah’ (junk food) di Amerika Serikat. Salah satu perusahaan makanan cepat saji yang dijadikan eksperimen adalah Restoran McDonald. Awalnya di ceritakan Morgan Spurlock mengunjungi ahli kesehatan seperti dokter serta ahli gizi untuk memeriksakan kondisi tubuhnya, kemudian selama satu bulan penuh dia mengkonsumsi produk McDonald untuk makan pagi, makan siang hingga makan malam. Selama proses tersebut Morgan Spurlock merasakan perubahan pada tubuhnya, bahkan isterinya merasa bahwa daya tahan seksual dari suaminya menurun drastis. Benar saja ketika eksperimen selesai, para dokter dan ahli kesehatan yang dulu memeriksanya, mengeluarkan hasil test kesehatannya dan menunjukkan hasil yang sangat mencengangkan. Mulai dari kadar kolesterol dan gula yang tinggi di tubuhnya sampai beberapa hasil yang nilainya negatif.
Walaupun film–film dari tipe intercative ini memiliki muatan sosial yang kental, namun banyak pengamat yang mengkritisi karena dianggap banyak manipulasi terhadap peristiwa dan subjek serta sering terjadi kesalahan dalam penggambarannya. Karena aspek intervensi dan manipulasi ini, kemudian mengingatkan banyak pihak pada gerakan sinema di Perancis, Cinema Verite dengan tokohnya yang ternama, Jean Rouch dan Edgar Morin (film Chronique d’un Ete – 1961). Pada akhirnya gaya pembuatan dari Cinema Verite ini menjadi gaya yang sangat dominan di dalam pembuatan film dokumenter saat ini.
4. TIPE REFLEXIVE
Filmmaker dalam dokumenter reflexive sudah melangkah satu tahap lebih maju dibandingkan tipe interactive. Tujuannya untuk membuka ‘kebenaran’ lebih lebar kepada penontonnya. Tipe ini lebih memfokuskan pada bagaimana film itu dibuat artinya penonton dibuat menjadi sadar akan adanya unsur–unsur film dan proses pembuatan film tersebut, justru hal inilah yang menjadi titik perhatiannya.
Sebagai contoh adalah film A Man With A Movie Camera (1929) karya Dziga Vertov, selain memasukkan Mikhail Kaufman (sinematografer) yang sedang menggunakan kamera juga memperlihatkan bagaimana potongan–potongan gambar yang dia ambil kemudian dikonstruksi di meja editing. Bahkan dia juga menggunakan beberapa kemampuan teknik film seperti freeze frame, shot yang out of focus, superimpose (double-exposure technique), fast motion, slow motion, reverse motion dan lain sebagainya. Unsur – unsur teknis tersebut mengingatkan kepada penonton bahwa apa yang dilihatnya ada hasil dari sebuah konstruksi yang menggunakan media film. Tujuan Vertov adalah untuk menyuguhkan realitas kehidupan keseharian (bangun tidur, melahirkan, pergi kerja hingga aktivitas di tempat hiburan) menggunakan teknik yang radikal sehingga penontonnya sadar bahwa hal itu adalah sebuah pertunjukkan bernama film.
Sebagai tambahan, teori Vertov tentang penggambaran dalam film terbagi menjadi dua. Pertama, prinsip film truth (kino-pravda) yang membicarakan tentang bagaimana proses perekaman kehidupan keseharian sebagaimana adanya. Kedua, prinsip film eye (kino-glaz) yaitu prosedur bagaimana film dikonstruksi dengan menggunakan kemampuan teknis film seperti yang telah dijelaskan di atas. Vertov menganalogikan setiap shot dari filmnya itu seperti sebuah batu bata. Ketika seorang filmmaker membuat film, ibaratnya dia akan menata semua batu bata yang dia punya untuk dijadikan bangunan sesuai dengan keinginannya, bisa rumah biasa, vila, gedung bertingkat dan sebagainya. Prinsip terakhir ini oleh kolega Vertov yang bernama Vsevolod I. Pudovkin disebut dengan Constructive Editing.
5. TIPE PERFORMATIVE
Tipe film dokumenter ini berciri paradoksal, di mana pada satu sisi tipe ini justru mengalihkan perhatian penonton dari ‘dunia’ yang tercipta dalam film. Sedangkan sisi yang lain justru menarik perhatian penonton pada aspek ekspresi dari film itu sendiri. Tujuannya untuk merepresentasikan ‘dunia’ dalam film secara tidak langsung. Juga menciptakan suasana (mood) dan nuansa ‘tradisi’ dalam film yang cukup kental yaitu tradisi penciptaan subjek atau peristiwa dalam film fiksi. Aspek penciptaan tersebut bertujuan untuk menggambarkan subjek atau peristiwanya secara lebih subjektif, lebih ekspresif, lebih stylistik, lebih mendalam serta lebih kuat menampilkan penggambarannya. Subjek dan peristiwa tersebut dibuat secara baik dan terasa lebih hidup sehingga penonton dapat merasakan pengalaman dari peristiwa yang dibuat itu. Subjek dan peristiwa dibuat jauh lebih lengkap supaya penonton dapat merasakan perubahan dan variasinya.
Pendapat lain adalah seperti yang dipaparkan oleh Stella Bruzzi yang mngatakan bahwa tipe performative memberi ruang yang lebih luas bagi kebebasan berkreasi dalam bentuk abstraksi visual, naratif dan sebagainya. Menanggapi konsep dari Bill Nichols yang mengatakan bahwa tipe performative merupakan lawan langsung dari tipe observational, maka ia mengatakan bahwa tipe performative “menghadapkan masalah estetik dengan persoalan penerimaan penonton terhadap kebenaran yang disajikan. Juga hakekat dari dokumenter yang dihadapkan dengan masalah authorship. Sekali lagi posisi mereka berlawanan langsung dengan para penganut Direct Cinema yang selalu melihat diri mereka sebagai penngejar kebenaran.” (Bruzzi 2000)
Contoh dari tipe ini adalah film The Thin Blue Line (1988) karya Errol Morris yang menceritakan pembunuhan terhadap seorang polisi patroli dari Kepolisian Dallas yang bernama Robert Wood pada tahun 1976. Tersangka pelakunya seorang gembel bernama Randall Adams sementara saksi yang memberatkannya, bernama David Harris merupakan tersangka pembunuhan yang didakwa dengan hukuman mati. Siapa yang menembak Robert Wood dan bagaimana peristiwa itu terjadi, menjadi pertanyaan yang berkepanjangan. Peristiwa film ini direkonstruksi berdasarkan kesaksian para saksi yang mengaku melihat kejadian itu. Namun kesaksian tersebut banyak yang meragukan dan sering tidak konsisten dan hal tersebut yang kemudian dikonstruksi oleh Errol Morris. Uniknya sang sutradara menggambarkan fakta–fakta dari setiap kesaksian baru dan berlainan apalagi yang sifatnya tidak konsisten dengan cara merekonstruksi. Jadi film The Thin Blue Line tidak hendak memaparkan sebuah kenyataan, namun ingin berbicara tentang ingatan (memory), kebohongan dan ketidakkonsistenan dari kesaksian–kesaksian peristiwa.
Film lain sebagai contoh dari tipe film ini adalah Tongues Untied (1990) karya Marlon Riggs yang bercerita tentang pengalamannya sebagai seorang penari homoseksual keturunan African–American yang tinggal di kota New York.
Lima tipe dokumenter di atas merupakan klasifikasi dari Warren Buckland yang mengutip klasifikasi dari Bill Nichols, namun pada tulisan – tulisan di dunia maya serta beberapa pembahasan, maka muncul satu tipe film dokumenter lagi yang justru paling awal dibuat yaitu tipe poetic. Ada beberapa tokoh yang bisa disebutkan seperti Joris Ivens yang sempat membuat The Bridge dan Rain serta Walter Ruttman yang membuat Berlin City Symphony. Sedangkan sekitar tahun 1950-an muncul Bert Haanstra dengan karyanya seperti Panta Rhei.
6. TIPE POETIC
Pembuat film dokumenter awal di Eropa bisa dikatakan didukung oleh teori montage Soviet dan prinsip photogenie dari gerakan sinema Impressionisme Perancis. Dengan dua teori di atas, maka Bill Nichols nantinya akan menyebut dengan istilah tipe poetic. Pionir film dokumenter, Dziga Vertov pernah menggambarkan pendekatan dari tipe ini “Kami: Variant of a Manifesto” saat memproklamirkan kinochestvo (kualitas dari menjadi sinematik), “adalah seni mengorganisasi gerakan yang penting dari subjek–subjek film dalam ruangnya sebagai keseluruhan ritme artistik, di dalam keselarasan dengan unsur–unsur materialnya serta ritme internal dari tiap subjek.” (Michelson, O’Brien dan Vertov 1984)
Seperti yang dikatakan oleh Bill Nichols, bahwa film dokumenter tipe poetic cenderung memiliki interpretasi subjektif pada subjek–subjeknya. Pendekatan dari tipe ini mengabaikan kandungan penceritaan tradisional yang cenderung menggunakan karakter tunggal (individual characters) dan peristiwa yang harus dikembangkan. Editing dalam dokumenter poetic sangat nyata bahwa kesinambungan (continuity) tidak memiliki dampak apapun sebab dalam editingnya lebih mengeksplorasi asosiasi dan pola yang melibatkan ritme dalam waktu (temporal rhythms) dan jukstaposisi ruang (spatial juxtapositions).
Joris Ivens dalam film Rain / Regen (1929) merupakan salah satu yang menggunakan tipe poetic ini. Secara konsisten menyambung shot–shot yang tidak berhubungan untuk menggambarkan hujan yang mengguyur kota Amsterdam. Tipe poetic mengilustrasikan kesan subjektif tanpa kandungan argumentasi apapun. Hal ini sering dianggap sebafau sebagai salah satu gerakan garda depan (avant-garde).
Beberapa film yang kemudian dibuat dan masuk dalam tipe film ini adalah film trilogi dari Godfrey Reggio yaitu Koyannisqatsi (1982), Powaqqatsi (1988) dan Naqoyqatsi (2001); film – film karya Bert Haanstra yang lain seperti Mirror of Holland (1951), Glass (1958) dan Zoo (1961); serta film Baraka (1992) karya Ron Fricke yang tidak lain adalah sinematografer Geodfrey Reggio dalam beberapa filmnya.
Sumber: http://kusendony.wordpress.com/
Kusen Dony Hermansyah, M.Sn. adalah staf pengajar di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta.
Persinggungan Antara Bentuk & Tipe Film
By - Posted on 24 September 2010Ada pertanyaan yang kemudian muncul, yaitu bagaimana melihat persinggungan antara tipe film dan bentuk film itu sendiri, sebab secara sepintas sulit menyatukan dua klasifikasi ini.
Walaupun tidak semuanya bisa dijelaskan, namun setidaknya cukup banyak yang bisa disatukan dalam sebuah film. Untuk tipe fiksi dan bentuk naratif mungkin tidak perlu penjelasan panjang, sebab banyak sekali film fiksi-naratif yang diproduksi di seluruh dunia terutama film-film yang diputar di bioskop-bioskop. Yang perlu menjadi catatan adalah sisa dari keterkaitan antara bentuk dan tipe.
1. Naratif dan Dokumenter.
Sub-tipe doku-drama merupakan titik temu antara dokumenter dengan naratif, dimana peristiwa, tokoh, ruang dan waktunya diambil dari kehidupan nyata, namun pembuatnya harus menginterpretasi ulang dan membuatnya tampak meyakinkan bagi penonton bahwa kejadian sesungguh adalah seperti yang digambarkannya.
2. Naratif dan Animasi.
Film-film animasi kartun adalah salah satu pertemuan titik antara bentuk naratif dengan tipe animasi. Dalam layar lebar banyak sekali film animasi kartun yang diproduksi seperti Fantasia, Beauty And The Beast dan sebagainya, sedangkan di televisi kita mengenal film kartun seperti Doraemon, Crayon Sinchan, Popeye, Scoby Doo dll.
3. Naratif dan Eksperimental.
Seringkali menjadi sulit mencari contoh dari film naratif dengan bungkusan eksperimental, namun setidaknya ada beberapa contoh yang dapat digunakan seperti Un Chien Andalou (Luis Bunuel), Pink Floyd : The Wall (Alan Parker), Parfumed Nightmare (Kidlat Tahimik) dsb.
Sedangkan titik temu antara bentuk non-naratif dengan tipe yang lain adalah seperti berikut :
4. Non-Naratif (Categorical) dan Fiksi.
Sub-tipe mockumentary adalah pertemuan antara categorical dengan fiksi, dimana peristiwa, tokoh, ruang dan waktunya merupakan hal fikstif, namun pembuatannya menggunakan pendekatan struktur serta aspek teknis dari dokumenter.
5. Non-Naratif (Categorical) dan Dokumenter.
Bentuk categorical memang awalnya ditujukan untuk dokumenter dan umumnya digunakan untuk hampir seluruh jenis dokumenter seperti ilmu pengetahuan, perjalanan, sejarah, instruksional dan lain sehingga.
6. Non-Naratif (Categorical) dan Animasi.
Sebenarnya titik temu awalnya sangatlah sulit dicari contohnya, namun setelah melihat Waltz With Bashir (Ari Folman) maka animasi-categorical ini menjadi memungkinkan. Film ini menceritakan sebuah penulusuran dari memori sang sutradara, namun dikemas dengan tipe animasi sehingga terpaksa bentuk categorical-nya cenderung menguat.
7. Non-Naratif (Rethorical) dan Fiksi / Animasi.
Bentuk rethorical dan fiksi bergabung dalam film-film iklan (TVC) ataupun iklan layanan masyarakat (PSA). Film-film tersebut cenderung melakukan persuasi yang kuat terhadap masyarakat.
8. Non-Naratif (Rethorical) dan Dokumenter.
Bentuk rethorical dan dokumenter cenderung muncul pada dokumenter dengan pendekatan propaganda, seperti yang terjadi dalam film Triumph of the Wheel (Leni Refensthal) dan Why We Fight ? (Frank Cappra).
Baik bentuk categorical ataupun rethorical sangat sulit mencari titik temunya dengan eksperimental, karena kencenderungan wujudnya yang sangat absurd.
9. Non-Naratif (Abstract) dan Fiksi / Animasi / Eksperimental.
Bentuk abstract sebagian besar merupakan fiksi dan ketika pembuatannya menggunakan elemen realis ataupun dengan teknik animasi maka akan cenderung menjadi film yang bersifat eksperimental. Misalnya film Dot (Norman McLaren), Mothlight (Stan Brakhage), Berita Hari Ini Tentang Dian Sastro (Faozan Rizal) dsb.
Dokumenter Dalam Klasifikasi Bentuk Film
By - Posted on 24 September 2010Pada kategori bentuk film, Bordwell membaginya menjadi dua yaitu bentuk naratif (bercerita) dan bentuk non-naratif.
1. Bentuk Naratif
Bentuk naratif merupakan sebuah bentuk penceritaan yang peristiwanya memiliki hubungan sebab akibat yang jelas dan terjadi dalam ruang serta waktu yang jelas pula. Dikarenakan penceritaan dalam film didasari oleh bidang sastra dan drama.
Bagaimanapun juga selain adanya aspek ruang, waktu, peristiwa dan manusia, naratif juga tidak hanya melibatkan aspek cerita (story), akan tetapi nantinya penceritaan itu akan terbagi lagi menjadi plot.
Ada beberapa pemahaman tentang plot ini sendiri, namun kalau mau gabungkan untuk memenuhi definisi di dalam film, yaitu segala unsur yang terlihat dan terdengar oleh penonton di layar, di mana unsur-unsur tersebut merupakan penggalan-penggalan cerita yang dipilih oleh pembuatnya agar dapat dirangkai sehingga bisa mewakili penceritaan. Artinya dari plot ini penonton akan merangkaikan seluruh aspek-aspeknya hingga terbentuk cerita (story) dibenaknya, dengan kata lain story adalah konstruksi abstrak penonton dari penyusunan plot-plot di dalam kepalanya.
Selain itu, naratif di dalam film juga memiliki struktur yang tentu saja berbeda dengan sastra (roman) maupun drama (teater), walaupun ada kedekatan, namun struktur di dalam film lebih banyak menyesuaikan dengan durasi maksimal yang umum ada atau dikenal oleh masyarakat, yaitu antara beberapa menit hingga 3 jam. Oleh karena itu ada pembagian dua struktur besar, Struktur Hollywood Klasik yang dikenal di Indonesia dengan Struktur 3 Babak dan lawannya, Struktur Art Cinema Naration.
2. Bentuk Non-Naratif.
Bentuk ini bukannya tidak bercerita, hanya saja cara menceritakannya berbeda dengan naratif yang seperti orang mendongeng, artinya aspek story, plot, ruang, waktu, peristiwa dan manusia tetap ada hanya saja cara menyampaikannya berbeda. Oleh karena itu, cara bercerita non-naratif dalam buku David Bordwell ini sangat beragam dan setidaknya ada empat cara bercerita dalam bentuk ini :
a. Categorical
Film dibuat kategori agar dapat dikumpulkan per sub-temanya. Bordwell mengibaratkan cara ini seperti memasuki supermarket dimana setiap barang akan dikategorikan menurut jenisnya dan bukan merknya. Banyak film dokumenter yang masuk dalam wilayah ini, terutama dokumenter yang umum ditayangkan seperti di televisi publik ataupun televisi berbayar.
b. Rethorical
Film ini memiliki persuasi yang kuat untuk mempengaruhi penontonsehingga kesan propaganda melekat erat dalam bentuk ini. Tipe film yang banyak menggunakan metode ini adalah film iklan yang banyak ditayangkan di televisi dan dokumenter propaganda, seperti film Triumph of the Will (Leni Refensthal) dan Why We Fight ? (Frank Cappra) .
c. Abstract
Penceritaan film ini mengikuti sebuah usaha untuk mengeluarkan suatu ekpresi paling dalam dari pembuatnya. Umumnya sulit untuk dicerna oleh penonton, namun karena didasari oleh kebebasan berekspresi sehingga sering permasalahan penonton tidak lagi menjadi yang utama. Film eksperimental, di tahun 1970-an dikenal dengan expanded cinema atau sekarang ini banyak seniman yang lebih mengenalnya sebagai video art adalah contoh dari film dengan bentuk abstrak, seperti film-film dari Stan Brakhage, Tan Jun Paik, Norman McLaren, Hans Richter, Walter Ruttman, Luis Bunnuel dsb. Film dalam sub-bentuk ini pada masa sekarang banyak dipakai pada video musik.
d. Associational
Film-film dalam bentuk ini sekilas mirip dengan bentuk abstrak, namun sesungguhnya sangatlah berbeda. Film bentuk ini biasanya menggunakan gambar-gambar yang tidak memiliki hubungan ruang, waktu ataupun peristiwa, namun memiliki tujuan yang sama untuk mengarah pada satu tema atau sub-tema penceritaan. Dokumenter dengan jenis association picture story menggunakan bentuk ini, seperti karya Man With A Movie Camera (Dziga Vertov), Baraka (Ron Fricke) serta trilogi film Geodfrey Regio : Powwaqqatsi, Koyanisqatsi dan Naqoyqatsi.
Dokumenter Dalam Klasifikasi Tipe Film
By - Posted on 24 September 2010Dalam buku Film Art : An Introduction, David Bordwell menuliskan adanya tipe-tipe film yang dibedakan dari bentuknya. Bordwell menggunakan kata tipe dan bukan jenis, untuk membedakannya dengan genre (jenis). Tipe-tipe tersebut adalah film fiksi, film dokumenter, film animasi dan film eksperimental. Bila ditinjau lebih jauh, Bordwell mencoba menyederhanakan tipe-tipe tersebut merupakan kategori dari film yang berkembang dan dibuat di seluruh dunia. Adapun definisinya adalah :
1. Film Fiksi adalah film yang tokoh, peristiwa, ruang dan waktunya direkayasa. Kita tentu mengetahui bila film fiksi ini jauh lebih berkembang karena faktor penceritaannya yang seperti dongeng. Lagipula film-film tipe ini cenderung lebih nyaman untuk dinikmati.
2. Film Dokumenter menjadi lawan dari fiksi, di mana tokoh, peristiwa, ruang dan waktunya tidak direkayasa atau otentik ada dan terjadi.
Anehnya untuk dua definisi terakhir, Bordwell justru merujuk pada penggunaan yang teknis atau personal yaitu :
3. Film Animasi adalah usaha ‘menghidupkan’ sesuatu non-manusia agar mendekati seperti kehidupan manusia itu sendiri. Secara tradisional, tekniknya sering disebut dengan frame by frame technique, artinya pengambilan shot-nya adalah per gambar. Jadi bila akan membuat film yang panjangnya 1 detik saja maka harus disediakan 24 gambar bila akan direkam dengan kamera film dan 25 gambar bila menggunakan kamera video. Sebenarnya teknik film animasi yang kemudian berkembang juga menjadi semakin banyak, misalnya stop motion, clay animation, pixilation, animasi boneka, animasi tiga dimensi yang menggunakan computer-generated imagery (CGI), animasi dua dimensi dan masih banyak lainnya.
4. Film Eksperimental merupakan film yang sangat menekankan ekspresi personal paling dalam dari pembuatnya. Karya-karya dalam film ini nyaris semuanya abstrak, tentu saja hal ini berkaitan dengan kemunculannya yaitu oleh Hans Richter, Walter Ruttman, Luis Bunnuel, Salvador Dali dan para seniman lainnya yang menjadi pita seluloid ini hanya sebagai pengganti kanvasnya. Seniman-seniman itu juga lebih banyak merupakan seniman dari aliran dadaisme, surrealisme ataupun impresionisme. Sehingga film-film dari tipe pada waktu itu ini jarang sekali menjadi konsumsi publik karena sangat sulit dimengerti dan cenderung tidak bercerita.
Akan tetapi umumnya masyarakat pembuat film terutama dokumenter cenderung melawankan film dokumenter dengan film fiksi bila dilihat dari definisi keduanya. Namun bagaimanapun juga karena film adalah sebuah media, pastinya akan ada singgungan antara dokumenter dengan fiksi yang akhirnya akan memunculkan bentuk, pendekatan ataupun gaya tertentu.
Seringkali singgungan itu terjadi ketika pembuat filmnya secara serius ataupun main-main mencoba untuk mencampurkan antara fakta-fakta otentik dengan sesuatu yang fiktif. Bisa juga film fiksi yang menggunakan gaya teknis dokumenter sehingga penonton menjadi tertipu karenanya.
Walaupun sangat terbuka untuk perdebatan, saya mencoba untuk memformulasi kemungkinan percampuran antara dokumenter dengan fiksi. Secara sederhana kita dapat membaginya menjadi 3 tipe besar, yaitu :
1. Fiksi : Apabila kandungan fiktifnya 75 % hingga 100 % dari keseluruhan film.
2. Dokumenter : Apabila kandungan faktanya 75 % hingga 100 % dari keseluruhan film.
3. Semi-Dokumenter : bila kandungan fiktifnya dan faktanya berkisar antara 40 % hingga 60 % dari keseluruhan film ataupun bisa juga seimbang.
Tentu saja yang dapat menghitung prosentase tersebut adalah pembuat film itu sendiri serta tujuan awal para pembuat film, apakah ingin membuat fiksi atau dokumenter dapat turut menentukan tipe yang dipilihnya.
Namun dari dari tipe fiksi sendiri muncul beberapa sub-tipe lagi yang merupakan usaha dari pembuat film ketika melakukan pendekatan terhadap filmnya, yaitu :
4. Doku-Drama : sub-tipe ini adalah sebuah interpretasi ulang terhadap peristiwa nyata sehingga hampir seluruh film cenderung untuk direkonstruksi, misalnya tokoh dan ruang peristiwa tersebut akan dicari ataupun dibuat ulang agar dapat semirip mungkin dengan aslinya. Contoh dari film sub-tipe ini adalah JFK (Oliver Stone), G30S/PKI (Arifin C. Noer), Johny Indo (Franky Rorimpandey), All The President’s Men (Alan J. Pakula) dsb.
5. Mockumentary : sub-tipe ini biasanya mengadopsi gaya teknis yang umumnya digunakan film dokumenter, misalnya hand-held camera dan available light (sinematografi), wawancara (mise en scene), cut-away (editing) dan narasi (suara) yang mampu menipu penonton sehingga seringkali film dengan model seperti ini dikira dokumenter. Pendekatan dalam filmnya dibuat komedi ataupun satir dengan tujuan menganalisa peristiwa dan isu yang sedang terjadi dengan memanfaatkan setting fiktif. Contoh dari film sub-tipe ini adalah This Is Spinal Tap (Rob Reiner) dan 24 Hours Party People (Michael Winterbottom).
Seringkali ada juga film fiksi yang menggunakan setting peristiwa nyata, sehingga pembuat filmnya harus merekonstruksi peristiwa, ruang dan waktunya seperti yang dilakukan oleh doku-drama, namun tokoh-tokoh yang dihadirkannya adalah tokoh fiktif. Contoh filmnya adalah Titanic (James Cameron).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar